Menembus Batas Kelaziman
Petikan alat musik tradisional China membuka kisah Romeo dan Juliet ala China. Dengan irama mendayu dan senandung penyanyi mengikuti irama, membuat suasana larut dalam sendu. Ditambah hujan yang turun malam itu, kesenduan terasa lengkap.
Kisah Liang Shanbo dan Zhu Yingtai adalah Romeo dan Juliet ala China yang dipertunjukkan dalam Opera Yue, di Taman Shenyuan, Kota Shaoxing, Provinsi Zhejiang, China.
Alkisah, Zhu Yingtai yang berasal dari Shaoxing menyamar menjadi laki-laki semata agar bisa studi di Hangzhou. Jalan menyamar harus ditempuh karena menjadi hal yang tabu bagi perempuan China pada masa lalu untuk berpendidikan tinggi.
Dalam perjalanan, dia bertemu laki-laki bernama Liang Shanbo. Perjumpaan yang kemudian membuat keduanya mengikat tali persaudaraan. Namun, tahun demi tahun bersama-sama studi di Hangzhou, Zhu justru jatuh cinta pada Liang. Hingga akhirnya, Zhu mengungkapkan bahwa dirinya perempuan. Liang terkejut dengan pengakuan itu dan butuh beberapa waktu bagi Liang bisa memahami alasan Zhu merahasiakan jati dirinya sebagai perempuan.
Hanya saja ketika dia sadar, dan hendak melamar Zhu ke keluarganya, dia mendapatkan realita ayah Zhu telah menikahkan Zhu dengan Ma Wencai, anak dari pejabat setempat.
Realita yang membuatnya tenggelam dalam kesedihan membuatnya jatuh sakit dan meninggal. Saat Zhu datang menangis ke pemakamannya, makam Zhu terbuka dan Zhu lompat ke dalamnya. Roh keduanya kemudian muncul dalam bentuk sepasang kupu-kupu, terbang bersama, dan tak lagi bisa dipisahkan.
Pasangan kekasih kupu-kupu. Demikian judul dari cerita Romeo dan Juliet ala China dalam Opera Yue tersebut.
Cerita berdurasi sekitar 20 menit itu menjadi satu dari empat cerita cinta yang dipertontonkan malam itu. Sama seperti ”Pasangan Kekasih Kupu-Kupu”, kekuatan cerita, pilihan diksi dalam cerita, musik, dan menyanyi para pemainnya yang mayoritas adalah perempuan, begitu dominan dalam cerita lainnya.
Menikmati Opera Yue di Shenyuan seperti kembali ke masa lalu saat opera ditemukan, yaitu pada awal abad ke-20.
Panggung dinaungi atap rumah China tempo dulu dengan kedua sisinya yang melengkung dan ditopang sejumlah pilar kayu yang sengaja ditonjolkan sebagai bagian dari unsur dekoratif.
Suasana pun dibuat alami. Panggung dan bangku-bangku penonton dipisahkan kolam tanpa atap yang menaunginya. Jadi, saat malam itu hujan turun, bulir air hujan terlihat seperti bagian dari dekorasi opera. Nuansa alami terasa pula ketika berjalan menuju gedung tempat opera digelar. Taman asri, pepohonan rimbun, dengan kolam besar yang berada di antaranya.
Transformasi opera
Opera Yue merupakan satu dari sekitar 360 jenis opera di China. Di antara ratusan opera itu, Shaoxing terbilang yang paling muda karena opera baru lahir tahun 1906.
Sebuah grup pendongeng di Desa Dongwang, Shengzhou, Shaoxing, yang menampilkannya pertama kali, 27 Maret 1906. Grup ini mengadopsi budaya mendongeng yang dinyanyikan, yang tenar di daerah setempat kala itu atau disebut ”luodi changshu”, tetapi dipentaskan oleh sejumlah pemain dengan peran berbeda-beda sesuai cerita dalam dongeng sambil menggerakkan tubuh.
Awalnya, gaya baru opera ini disebut ”xiaoge ban”. Kemudian berkali-kali berubah hingga akhirnya disebut Yueju. Nama yueju diambil dari yue yang merupakan nama kuno dari Shaoxing dan ju yang berarti opera. Selain Yueju, opera ini juga kerap disebut Opera Shaoxing, merujuk pada tempat kelahiran opera di Shaoxing.
Sekalipun diperagakan pertama kali di Shengzhou, opera ini baru tenar setelah ditampilkan di pusat industri hiburan di China, Shanghai, sekitar tahun 1938. Opera kian terkenal saat perempuan mengambil alih seluruh peran di opera, termasuk peran laki-laki, setelah sebelumnya dikuasai oleh laki-laki.
Laki-laki menguasai, tidak hanya di Opera Yue, tetapi juga di jenis-jenis opera lainnya, karena kuatnya pandangan bahwa panggung opera hanya untuk laki-laki. Kehadiran perempuan di panggung dinilai sebagai sebuah hal yang tabu, bahkan dipandang akan mengurangi nilai dari sebuah pertunjukan seni.
Oleh karena itu, menurut Jin Jiang dalam bukunya, Women Playing Men: Yue Opera and Social Change in Twentieth Century Shanghai, kemampuan perempuan mengambil alih panggung dalam Opera Yue menjadi salah satu tonggak kemunculan feminisme di China. Sebab, di panggung opera, perempuan berhasil menunjukkan diri bahwa mereka tidak kalah dengan laki-laki.
Apalagi, tampilnya perempuan memainkan seluruh peran di Yueju berhasil membawa opera itu ke puncak keemasannya.
Yueju pernah mengalahkan popularitas Opera Beijing, jenis opera China lain yang lebih dulu tersohor di China. Yueju pun dikenal tidak hanya di seantero China, tetapi hingga ke luar China, mulai sekitar tahun 1950 hingga 1960.
Kunci dari keberhasilan mereka menyentuh hati audiens tersebut, selain karena perjuangan dan kegigihan para aktrisnya juga karena karakter perempuan lebih tepat memainkan cerita-cerita cinta yang mendominasi dalam Opera Yue.
Cerita-cerita cinta yang selalu diangkat itu pun ikut menjadi kunci keberhasilan Opera Yue. Cerita cinta dalam opera di luar kelaziman karena jenis opera lain lebih sering mengangkat kisah-kisah sejarah dan narasi membangun bangsa.
Generasi muda
Dikutip dari China Global Television Network (CGTN), Opera Yueju tetap populer hingga kini. Opera terus diwariskan dan dipopulerkan kepada generasi penerus melalui aktris-aktris baru, juga melalui sekolah-sekolah drama di China.
Tak sebatas itu, transformasi opera terus dilakukan agar tetap menjadi magnet bagi masyarakat.
Warna-warna terang dan mencolok dari busana yang dikenakan para pemain opera, misalnya, mengikuti busana yang sedang tren di China. Kemudian teknologi proyektor digunakan sebagai latar belakang. Alhasil, latar bisa berganti-ganti disesuaikan adegan yang dimainkan. Ditambah lagi permainan efek cahaya panggung.
Hal lain, bahasa yang digunakan para pemain opera telah diubah. Mereka tak lagi menggunakan bahasa China dengan dialek lokal, tetapi bahasa China yang dipahami semua orang China.
”Sentuhan-sentuhan kekinian itu merupakan upaya agar generasi muda saat ini tetap tertarik menontonnya,” tutur Hao Nan dari ASEAN China Center (ACC), lembaga bentukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) dan Pemerintah China, yang mengundang wartawan dari 10 negara di ASEAN untuk melihat opera tersebut, awal Mei lalu.
(APA)