Hasil pemilu parlemen dan presiden dini Turki pada Minggu (24/6/2018) cukup mengejutkan publik negara itu, termasuk bagi pendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan serta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Hasil pemilu itu berbeda dari hasil sebagian besar jajak pendapat.
Jajak pendapat terakhir sebelum pemilu yang dilakukan lembaga independen, seperti Metropol, yang berbasis di Istanbul, menunjukkan, Erdogan akan meraih 45 persen suara. Namun, hitung cepat yang dilansir berbagai media Turki tak lama setelah pemungutan suara menunjukkan, Erdogan meraih 52,6 persen suara saat penghitungan mencapai 98,7 persen.
Berdasarkan jajak pendapat pemilu parlemen sebelum pemungutan suara, Koalisi Kerakyatan yang menghimpun AKP, Partai Gerakan Nasionalis (MHP), dan Partai Persatuan Besar (BBP) hanya mendapat 46 persen suara. Namun, berdasarkan hasil pemilu parlemen setelah penghitungan mencapai 93 persen, koalisi itu meraih 53 persen suara atau mayoritas mutlak, setara 342 kursi dari 600 kursi parlemen. Khusus AKP, hingga Senin lalu, perolehannya 42,5 persen suara.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa posisi Erdogan dan AKP, yang memegang dominasi di panggung politik Turki sejak 2002, tidak tergoyahkan. Strategi oposisi menampilkan lima calon presiden (capres) untuk memecah suara—agar Erdogan tidak dapat memenangi pilpres satu putaran—ternyata gagal. Dalam pemilu parlemen, upaya oposisi membentuk Koalisi Keumatan untuk mengakhiri atau minimal mengurangi dominasi AKP 16 tahun terakhir juga gagal.
Bagaimanapun, apa yang dilakukan oposisi untuk mengakhiri atau setidaknya mereduksi hegemoni Erdogan serta AKP telah maksimal. Keputusan Partai Rakyat Republik (CHP) menunjuk Muharrem Ince sebagai capres adalah langkah untuk menawarkan tokoh selain Erdogan kepada rakyat.
Ince memiliki banyak sifat yang mirip dengan Erdogan. Ince dikenal sebagai orator ulung, tegas, dan sering meledak-ledak seperti Erdogan. Bahkan, sejumlah pengamat menyebut, Ince adalah Erdogan muda. Dalam beberapa jajak pendapat, Ince mendapat hasil cukup baik, 26-30 persen. Maka, muncul banyak analisis dan prediksi tentang sulitnya Erdogan bisa menang dalam satu putaran atau meraih suara lebih dari 50 persen. Asumsinya, Ince mendapat 30 persen suara dan gabungan capres lain mendapat lebih dari 20 persen.
Ternyata, berdasarkan hasil pilpres, hingga Senin, Ince memang mendapat 30,6 persen, tetapi suara gabungan kandidat lain kurang dari 20 persen. Sementara Erdogan meraih lebih dari 50 persen suara. Di luar Erdogan dan Ince, ada empat tokoh lain yang juga menjadi capres.
Tampaknya memang belum tiba saatnya dominasi Erdogan dan AKP berakhir. Turki yang menghadapi tantangan sangat berat baik di luar maupun di dalam negeri telah membuat warga menilai negara itu membutuhkan figur pemimpin dan pemerintahan yang berpengalaman. Di luar negeri, Turki dalam keadaan perang melalui operasi militer Perisai Eufrat tahun 2016 dan operasi Ranting Zaitun tahun 2018 untuk melawan separatis Kurdi dari Unit Pelindung Rakyat (YPG) di Suriah. Di dalam negeri, Turki sedang memburu aktivis separatis Kurdi dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan jaringan Fethullah Gulen yang dituduh terlibat dalam kudeta gagal tahun 2016.
Rakyat Turki melalui pemilu parlemen dan presiden memberi pesan, mereka tidak berani berspekulasi memilih pemimpin dan pemerintahan baru. Di tengah tantangan berat, mereka memilih memberi mandat kepada pemimpin dan pemerintahan yang mapan.
Kini tinggal menunggu komitmen Erdogan melaksanakan janji kampanye, yakni mengakhiri undang-undang darurat mulai Juli. UU darurat—diterapkan pada 2016 menyusul kudeta gagal—dikritik karena memberi ruang bagi praktik otoriter.