TEHERAN, KAMIS -- Iran mengaktifkan kembali reaktor nuklir yang ditelantarkan selama sembilan tahun terakhir. Pengoperasian itu bagian dari persiapan Iran memulai lagi proses pengayaan uranium jika kesepakatan nuklir gagal.
Badan Nuklir Iran (AEOI) mengumumkan pengoperasian itu pada Rabu (27/6/2018) malam di Teheran, Iran. Pengoperasian ini menindaklanjuti perintah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Reaktor untuk memproduksi UF6, bahan baku bagi mesin pemutar yang memperkaya uranium, sudah dibuka lagi. Satu tabung bijih uranium sudah dikirimkan ke sana. Di reaktor itu, bijih uranium diubah menjadi gas yang disebut uranium hexaflorida (UF6) sebelum diperkaya.
Pengoperasian ini menindaklanjuti perintah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Pabrik pernah berhenti beroperasi pada 2009 karena kekurangan bijih uranium. Reaktor itu merupakan bagian dari fasilitas pengolahan uranium Isfahan. “Iran sudah mengimpor banyak uranium sejak kesepakatan nuklir 2015 dan sudah memproduksinya di dalam negeri juga,” demikian diungkapkan AEOI.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) membenarkan sudah menerima informasi dari AEOI soal reaktor itu. Kepada IAEA, AEOI memberi tahu rencana sementaranya.
AEOI memanfaatkan celah dalam kesepakatan nuklir yang ditandatangani pada 2015. Dalam kesepakatan itu, Iran masih diizinkan memperkaya uranium hingga 3,75 persen. Tingkat pengayaan ini jauh di bawah standar uranium untuk kebutuhan bom, yakni 90 persen. Iran juga masih boleh menyimpan UF6 hingga 300 kilogram.
Selain kembali membuka fasilitas pengayaan uranium, Iran juga mengontak Perancis, Jerman, dan Inggris. Bersama AS, Rusia, dan China, negara-negara itu membuat kesepakatan nuklir dengan Iran pada 2015.
Dengan kesepakatan itu, sanksi ekonomi atas Iran dicabut bertahap. Sebagai imbalannya, Iran akan menghentikan proses pengayaan uranium yang dibutuhkan untuk pembuatan senjata. Iran hanya boleh mengayakan uranium pada level untuk pembangkit listrik atau keperluan di luar pembuatan senjata.
Dengan kesepakatan itu, sanksi ekonomi atas Iran dicabut bertahap. Sebagai imbalannya, Iran akan menghentikan proses pengayaan uranium yang dibutuhkan untuk pembuatan senjata.
Namun, kesepakatan itu berada di ujung tanduk setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan negaranya keluar dari kesepakatan. Pada Agustus dan November 2018, sanksi atas Iran akan diterapkan, termasuk larangan negara itu menjual minyak. Dengan demikian, hubungan AS-Iran kembali seperti sebelum ada kesepakatan nuklir 2015, yakni hubungan penuh konflik.
Presiden Iran Hassan Rouhani memperingatkan Perancis, Jerman, dan Inggris bahwa kesepakatan itu dalam kondisi kritis. Kepala Kantor Staf Kepresiden Iran Mahmoud Vaezi menyatakan, permintaan Iran yang disampaikan dalam surat Rouhani kepada Inggris, Perancis, dan Inggris sangat jelas. (REUTERS)