Bisnis Korporasi AS di China Jadi Taruhan
Perang dagang yang ditabuh Presiden Donald Trump terhadap China membuat bisnis korporasi Amerika Serikat di China dalam risiko besar. Trump pada hari Senin (2/7/2018) mengancam lagi akan mengenakan tarif 25 persen terhadap 200 miliar dollar AS barang impor dari China, naik dari 50 miliar dollar AS. Ancaman terbaru ini membuat korporasi AS semakin was-was.
Masalahnya, AS hanya mengekspor sebesar 138 miliar dollar AS ke China. Sebaliknya, China mengekspor 506 miliar dollar AS ke AS. Tindakan balasan China ke AS atas ancaman itu tidak memadai dengan hanya menghukum impor dari China. Balasan pasti dilakukan dengan cara lain, yakni menekan bisnis korporasi AS di China.
Padahal, aset korporasi AS di China mencapai 627 miliar dollar AS dengan penjualan sebesar 482 miliar dollar AS pada 2015. Sebaliknya, hanya ada 167 miliar dollar AS aset China di AS dengan penjualan 26 miliar dollar AS. Demikian data dari China International Capital Corp seperti dikutip harian The Los Angeles Times, 20 Juni.
Walau ekspor AS ke China lebih sedikit dari impornya, jika penjualan korporasi AS di pasar China diperhitungkan, ada surplus 20 miliar dollar AS di pihak Amerika, demikian menurut Deutsche Bank AG.
Meski tekanan pada bisnis AS di China merupakan salah satu alternatif untuk membalas Trump, pemerintah China tidak tergesa-gesa mewujudkannya. China berkali-kali menekankan perang dagang tidak menguntungkan siapapun juga. “China telah dan terus mencoba agar konflik tidak berkembang parah,” kata Lu Ting, ekonom dari Nomura Holdings dari cabang Hongkong. China mencoba memberi ruang untuk bernegosiasi.
Akan tetapi, seperti diberitakan harian The South China Morning Post, 20 Juni, Presiden Xi Jinping sudah bertemu dengan para eksekutif AS dari perusahaan UPS, Pfizer, Goldman, Cargill, Prologis, Hyatt, Goldman Sachs dan lainnya. Para eksekutif asal Eropa yang ikut hadir adalah dari perusahaan Thales, Alstom, Schneider Electric, ABB, Nokia, Volkswagen, Daimler, Philips, ArcelorMittal, AstraZeneca, Jaguar Land Rover, John Swire & Sons, BHP.
Presiden Xi menyerukan keterbukaan pasar serta meminta korporasi AS menjadi motor pencegah proteksionisme.
Ini jelas merupakan upaya China untuk mencegah perang dagang. Menlu AS Mike Pompeo tidak yakin dan meledek ucapan Presiden Xi dengan mengatakan ucapan soal keterbukaan itu, "hanyalah lelucon.” Ucapan Pompeo dengan sendirinya juga merupakan sebuah lelucon tak lucu.
Tekanan sudah terasa
China bisa dan berhak memberi tekanan pada korporasi AS seperti Apple, Walmart, Boeing, dan General Motors. Semua perusahaan ini beroperasi dalam skala besar di China dan ingin berekspansi. China bisa menghambat dengan mengenakan denda, pelambatan pemeriksaan produk perusahaan di pelabuhan, audit pajak dan peningkatan pengawasan atas korporasi.
China bisa dan berhak memberi tekanan pada korporasi AS seperti Apple, Walmart, Boeing, dan General Motors.
“Menekan perusahaan lewat sistem birokrasi adalah praktik yang dilakukan China sekian lama, dan perusahaan kami sedang berjaga-jaga,” kata William Zarit, Ketua Kamar Dagang AS di China. “Ini jelas menjadi keprihatinan," tambahnya.
Hal serupa juga dilakukan Trump terhadap China, melakukan tekanan lewat ekonomi. Langkah China bukan hal unik.
Perusahaan Korea Selatan dan Jepang telah mengalami hal itu. Bisnis dari korporasi asal dua negara pernah terganggu saat terjadi sengketa negara dengan China.
Pada tahun 2017, pemerintah Korea Selatan memutuskan pengerahan sistem anti-rudal. Hal ini dibalas China dengan penghentian kegiatan sejumlah toko milik Lotte Shopping di China. Alasannya, sejumlah pasar swalayan asal Korea itu melanggar standar keselamatan.
Lotte memutuskan keluar dari China tetapi tidak pernah berhasil menjual semua asetnya, menurut kantor berita Yonhap sebagaimana oleh dikutip The Los Angeles Times. Masalah ini berkembang hingga aksi boikot atas produk Korea Selatan seperti Hyundai Motor dan produk kosmetik buatan Amorepacific. Para wisatawan China pun membatalkan perjalanan liburan ke Korea Selatan. Ini menyebabkan maskapai dan perhotelan terpaksa banting harga.
Perusahaan otomotif Jepang juga mengalami penurunan penjualan di China pada 2012 karena sengketa wilayah di Laut China Timur. Saat itu juga mendadak tidak satupun konsumen di China membeli Toyota. “Pemerintah China dapat mengorganisir aksi boikiot dalam waktu cepat,” kata Nicholas Lardy, peneliti dari Peterson Institute for International Economics yang berbasis di Washington.
Tekanan sudah terasa
Beberapa korporasi AS yang berbisnis di China sudah mulai merasakan tekanan. “Pemeriksaan ekstra di kepabeanan, standar emisi pabrik dan persyaratan lebih ketat dalam periklanan mulai terjadi,” kata Jake Parker, Wakil Presiden US-China Business Council yang membawahi operasional korporasi AS di pasar China.
Daya tahan sektor otomotif AS di China akan diuji. GM dan Ford sudah melakukan investasi besar di China. Pasar di China menyumbang 25 persen terhadap total laba GM dan 12 persen untuk Ford, menurut Bloomberg Intelligence.
Kendaraan elektronik buatan Tesla juga terjual sebanyak 15.000 di China dan menyumbang 17 persen terhadap total pendapatan global. Tesla pun berpotensi menghadapi tantangan. Hambatan juga sudah mulai dialami Ford dan GM walau dibantah oleh dua perusahaan itu. (Reuters, 9 Mei).
Hambatan juga sudah mulai dialami Ford dan GM walau dibantah oleh dua perusahaan itu.
Karena itu, industri otomotif AS menolak proteksionisme. “Saya tidak menemukan satupun perusahaan yang meminta proteksi dari persaingan internasional,” kata John Bozzella, Presiden dan pimpinan umum Global Automakers, sebuah kelompok lobi yang berbasis di Washington DC (Politico, 26 Juni).
Starbucks Corp yang memiliki 3.300 kedai di China juga merupakan potensi sasaran. Boeing di sisi lain, mencatatkan surplus paling besar di bidangnya untuk pasar China. Boeing akan tertekan jika China menekan jet Boeing 737, penyumbang terbesar keuntungan Boeing.
Kekhawatiran Apple
Apple, yang dirakit di China, tidak akan masuk dalam pengenaan tarif impor asal China seperti dijanjikan Trump kepada Timothy D Cook, pimpinan utama Apple. Seperti diberitakan harian The New York Times, 19 Juni, Apple adalah korporasi AS paling sukses di China. Penjualan sebesar 50 miliar dollar AS di China menyumbang 25 persen terhadap total keuntungan global.
Cook sedang beraksi sebagai diplomat bisnis dari industri berteknologi tinggi untuk menengahi pemimpin China dan juga AS. Pada Maret lalu, dia menyerukan ketenangan. Kepada pemerintah AS, dia menegaskan bahwa data perdagangan jangan dilihat dari luarnya saja karena ekspor China ke AS misalnya, juga termasuk produk Apple.
Di bawah Cook, Apple tidak saja berkembang karena kecanggihan gadget tetapi juga geografi, yakni pasar China yang besar. Kini Apple sedang khawatir mesin birokrasi pemerintah China. Jika ini terjadi maka jaringan produksi dan pemasaran bisa terganggu. Apple sudah pernah mengalami hal seperti itu.
Pada 2016, aplikasi iTunes Movies dan iBook Store tiba-tiba hilang dari aplikasi iPhone. Saat pemerintah AS tahun 2014 menghukum lima peretas dari kemiliteran China, Apple menghadapi penundaan iPhone 6 dengan alasan perlu kajian tambahan akan keamanan.
Ketakutan Apple bukan saja efek dari perang dagang. Tekanan Trump terhadap perusahaan teknologi asal China dalam bisnis di AS, seperti sempat dialami ZTE dan kini Huawei, membuat Apple dalam risiko. “Dia sedang mencoba pendekatan pada pemerintahan Trump. Apple berada dalam risiko paling besar ketimbang perusahaan AS lainnya,” kata Gene Munster, analis dari Loup Ventures, sebuah perusahaan investasi.
Bisnis Apple di China tidak saja tergantung pada perakitan yang dijalankan lewat Foxconn, perusahaan asal Taiwan. Apple tergantung pada jaringan China Mobile, pemberi jaringan bagi 900 juta pelanggannya di China. Apple juga tergantung pada sistem di China untuk penyimpanan data dalam bisnisnya di China.
Konsumen China sangat menyukai Apple, kata Dean Garfield, kepala Information Technology Industry Council, sebuah kelompok dagang yang juga membawahi Apple dan perusahaan tekonologi lainnya. Serupa halnya, konsumen China menyukai Facebook dan Google tetapi nyatanya terhambat berbisnis di China. Inilah yang sangat ditakutkan Apple. (AP/AFP)