Amati ucapan menarik Menteri Luar Negeri China Wang Yi. ”Pertemuan berikut ini sangat tepat waktu dan perlu,” kata Wang di Vienna, Austria, Kamis (5/7/2018), saat mengadakan jumpa pers dengan Menlu Austria Karin Kneissl. Ucapannya bermakna dalam dengan bahasa diplomasi tingkat tinggi.
Ucapannya merujuk pertemuan tingkat menteri enam negara tanpa AS, yakni Perancis, Jerman, Rusia, Inggris, Iran, dan China, yang berlangsung pada Jumat (6/7). Mereka adalah negara-negara yang pada 2015, saat AS di bawah Presiden Barack Obama, menyepakati pencabutan sanksi terhadap Iran dengan janji Teheran akan melucuti program nuklir. Pertemuan yang disepakati Dewan Keamanan PBB ini tidak dihadiri AS karena pada 8 Mei silam Presiden Donald Trump keluar sepihak dari kesepakatan ”Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)”.
Wang benar. Serangan bertubi-tubi Trump terhadap semua mitra dagang sedang memberi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi global. Trump menekan Kanada, Meksiko, Uni Eropa, China, dan Jepang lewat aksi proteksionisme dengan penambahan tarif impor. ”Ketegangan perdagangan internasional memunculkan sikap frustrasi,” kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde.
Lembaga konsultan, Oxford Economics, lewat ekonom Adam Slater, menegaskan, proteksionisme Trump menghilangkan 4 persen perdagangan (800 miliar dollar AS), setara penurunan 0,4 persen produksi domestik bruto (PDB) global.
Minyak ancaman nyata
Kemelut dagang makin sengit, ditambah lagi perintah Trump bahwa semua negara harus menghentikan semua impor migas asal Iran hingga batas waktu 4 November 2018. Peringatan ini disampaikan pada 26 Juni lalu oleh Kemlu AS dengan ancaman semua perusahaan yang terlibat impor migas Iran akan kena sanksi dalam bisnis mereka di AS.
Iran membalas keras dengan mengatakan akan mengacaukan lalu lintas migas di Selat Homuz jika hal itu terjadi. Penurunan harga minyak secara empiris turut membangkitkan perekonomian global. Kemelut minyak, jika terjadi, lewat kenaikan harga dengan mudah menjatuhkan ekonomi dunia. China dan Eropa beserta Rusia sadar akan bahaya tambahan ini, potensi kenaikan harga minyak.
China menolak seruan AS soal minyak Iran. ”China selalu menentang sanksi unilateral dan yurisdiksi tangan panjang,” demikian juru bicara Kemlu China, Lu Kang.
Menlu Jerman, seperti diberitakan kantor berita Associated Press, 22 Mei, bertemu Menlu AS Mike Pompeo. Pesannya, Uni Eropa tidak bersedia memilih jalan AS, yang meninggalkan kesepakatan nuklir dengan Iran.
Importir utama minyak Iran adalah China, India, Turki, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Harian The Wall Street Journal, 10 Juni, menuliskan, Pemerintah India sudah menegaskan kepada AS bahwa negara itu akan terus membina hubungan ekonomi dengan Iran. Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan relatif tunduk kepada AS. Namun, Menlu Turki Mevlut Cavusoglu pada 30 Juni lalu juga menegaskan, negara tersebut tidak akan mengurangi impor minyak dari Iran.
Meski demikian, sedang diupayakan sikap kooperatif Iran. Di Vienna, 4 Juli, Presiden Iran Hassan Rouhani saat bertemu Presiden Austria Alexander Van der Bellen menegaskan, Iran menjamin kesediaan soal kesepakatan nuklir meski AS mundur. Syaratnya, Iran tidak diisolasi secara ekonomi.
Kerja sama global tanpa AS adalah solusi satu-satunya mencegah kekacauan ekonomi dan geopolitik dunia. Hal ini bukan soal dunia yang harus membenci AS, melainkan soal ekonomi yang harus tumbuh. Kebijakan diam-diam dunia mengeliminir Trump adalah sebuah keharusan demi ekonomi dan stabilitas global. Trump begitu sengit terhadap dunia, bahkan sekutunya. Mustahil menuruti Trump karena risikonya adalah perut warga dunia.