Minyak kembali menjadi isu besar dalam konflik Iran-Amerika Serikat saat ini. Konflik itu mengemuka setelah Presiden AS Donald Trump, Mei lalu, mengumumkan pembatalan secara sepihak kesepakatan nuklir antara Iran dan P5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, China, plus Jerman) yang dicapai pada Juli 2015.
Dampak dari keputusan sepihak itu, Trump ingin kembali menjatuhkan sanksi seberat-beratnya kepada Teheran, termasuk upaya menghentikan ekspor minyak Iran. Sanksi AS mulai berlaku pada Oktober mendatang.
Minyak adalah sumber utama devisa Iran selama ini. Upaya menghentikan ekspor minyak Iran sama saja dengan membunuh negara para Mullah itu yang dikenal memiliki hubungan buruk dengan AS sejak revolusi Iran pada 1979.
Upaya menghentikan ekspor minyak Iran sama saja dengan membunuh negara para Mullah itu.
Iran saat ini memproduksi 4 persen kebutuhan minyak dunia. Iran mengekspor 450.000 barrel minyak per hari ke Eropa dan 1,8 juta barrel minyak per hari ke Asia, sebagian besar ke India dan China.
Tekad AS menghentikan ekspor minyak Iran terungkap dalam pembicaraan telepon antara Presiden Trump dan Raja Arab Saudi Salman Bin Abdulaziz al-Saud, beberapa hari lalu. Trump meminta Raja Salman menambah produksi minyak Arab Saudi sebanyak 2 juta barrel lagi per hari untuk menutupi kekurangan suplai minyak dunia jika ekspor minyak Iran berhenti. Raja Salman secara prinsip menyetujui permintaan Trump itu.
Reaksi Iran sangat keras dengan menyebut Arab Saudi sebagai pengkhianat besar dan akan membayar harga mahal jika menyetujui permintaan Trump.
Bahkan, Presiden Iran Hassan Rouhani mengancam, jika Iran tidak diizinkan mengekspor minyak, semua negara di kawasan juga tidak akan bisa mengekspor minyak mereka.
Komandan pasukan elite Garda Revolusi Mayor Jenderal Mohammad Ali Jafari mengancam akan menutup Selat Hormuz. Cara itu dilakukan untuk menghalangi negara-negara di kawasan menggunakan selat strategis itu menjadi jalur ekspor minyak.
Pada era sebelum kesepakatan nuklir Iran dicapai, setiap kali hubungan Iran-AS memanas, Teheran sering mengancam akan menutup Selat Hormuz. Setelah kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 itu, isu minyak dan Selat Hormuz mereda. Namun, setelah Trump membatalkan kesepakatan nuklir Iran, isu minyak dan Selat Hormuz kembali menggema di kawasan Teluk.
Cara lama
Menggunakan isu minyak untuk tujuan politik tertentu bukan hal baru di Timur Tengah. Dalam sejarah modern Timur Tengah, isu minyak dijadikan senjata melawan lawan politik bermula dari perang Arab-Israel pada 1973. Negara-negara Arab saat itu mengembargo pengiriman minyak ke AS dan negara Barat lain yang mendukung Israel.
Akibat embargo itu, harga minyak dunia melonjak empat kali lipat. Dari 3 dollar AS per barrel menjadi 12 dollar AS per barrel.
Dalam sejarah modern Timur Tengah, isu minyak dijadikan senjata melawan lawan politik bermula dari perang Arab-Israel pada 1973.
Embargo itu membuahkan hasil. Menlu AS saat itu, Henry Kissinger, terpaksa melakukan lawatan ulang-alik antara Kairo, Tel Aviv, dan Damaskus untuk menghentikan perang itu.
Isu minyak kembali digunakan di era perang Irak-Iran pada 1980-1988. Saat itu dikenal adanya perang tanker. Iran menarget setiap tanker pengangkut minyak dari Irak dan Kuwait.
Kapal perang AS dan negara Barat lain, seperti Perancis dan Inggris, turun tangan mengawal kapal tanker pengangkut minyak asal Irak, Kuwait, dan negara Arab lain. Langkah AS dan mitranya membuat misi Iran gagal.
Pada 1990-an, AS menggunakan isu minyak untuk menghentikan ekspor minyak dari Irak karena Saddam Hussein. Kebijakan itu berhasil melemahkan Irak dan membuat AS dengan mudah menginvasi Irak. Saat itu, Arab Saudi berhasil menutupi suplai minyak dunia setelah berhentinya ekspor minyak Irak.
Ceritanya tentu masih panjang. Namun, Iran saat ini bukan Iran tahun 1990-an ketika dunia sepakat mengisolasinya.
Saat ini, Iran punya banyak teman, baik di Timur Tengah maupun dunia. China dan India adalah dua negara pengimpor minyak Iran terbesar. Mereka berkeras terus mengimpor minyak Iran meski ada ancaman dari AS. Sikap Eropa pun masih terpecah terhadap aksi sepihak AS atas kesepakatan nuklir Iran.