Pada 24 Juni lalu, atau sembilan hari setelah Lebaran, perempuan Arab Saudi merayakan hari spesial. Saat itu, perempuan Saudi seolah terlahir kembali berkat berlakunya aturan yang memperbolehkan mereka menyetir kendaraan. Larangan mengemudi bagi perempuan selama puluhan tahun menjadi simbol kebijakan paling opresif terhadap perempuan di negeri itu.
Seorang perempuan pengemudi taksi daring di Arab Saudi, seperti dikutip harian ini, sampai menangis dua kali saking bahagianya dengan aturan itu. Aturan ini baru sekelumit dari reformasi yang dicanangkan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman sebagai bagian dari ambisinya dalam Visi 2030.
Pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan merupakan salah satu buah reformasi sosial dan budaya menyusul serangkaian kebijakan, seperti izin beroperasinya kembali bioskop dan acara-acara hiburan serta akses perempuan menonton laga sepak bola di stadion. Contoh-contoh perubahan itu awalnya bukan fokus utama Pangeran Mohammed saat meluncurkan Visi 2030, dua tahun lalu.
Fokus utamanya di awal—setidaknya seperti yang dia sampaikan—adalah hampir keseluruhannya upaya memperbaiki ekonomi Arab Saudi yang limbung akibat jatuhnya harga minyak. Masalah sosial, seperti isu mengemudi bagi perempuan, kata Pangeran Mohammed, terpulang kepada masyarakat untuk memutuskan.
Oleh karena itu, ketika satu demi satu buah reformasi Pangeran Mohammed di sosial-budaya menelurkan sejumlah perubahan di masyarakat, majalah The Economist (23-29 Juni 2018) menjuluki perubahan-perubahan itu sebagai ”revolusi anak muda yang dirancang dari atas ke bawah, oleh seorang pangeran di istana, bukan dari bawah ke atas oleh para demonstran yang marah di jalan-jalan”.
Perubahan itu pun dianggap sebagai ”revolusi yang luar biasa” Pangeran Mohammed—pangeran berusia 32 tahun—mengingat, demikian tulis The Economist, ia antara lain harus memoles ulang masyarakat Arab Saudi dari aturan-aturan Islam yang sangat kaku. Dalam wawancara pada Oktober 2017, Pangeran Mohammed bahkan tegas dan eksplisit menyebut Islam moderat sebagai jalan yang akan memandu perjalanan Arab Saudi ke depan.
Sebagian kalangan Muslim di Indonesia bersukacita dengan kabar itu. Maklum, model keberagaman Islam moderat yang puluhan tahun dianut Muslim di Tanah Air tiba-tiba akan dipraktikkan—jika tidak disebut ”diikuti”—Arab Saudi. Jika Saudi sudah memilih, negara-negara Arab Teluk akan mengikuti. Jika Arab Teluk mengikuti, dunia Arab akan mencontoh. Dan, apa yang dijalankan dunia Arab, dunia Muslim konon akan bermakmum.
Namun, ada sisi lain wajah moderasi Arab Saudi saat ini yang memberi dimensi lain pada proyek reformasi Pangeran Mohammed, seperti mengentalnya watak otoriter Sang Putra Mahkota di dalam negeri, menonjolnya karakter militeristik ketimbang kematangan diplomasi dalam menyelesaikan krisis Yaman, serta menguatnya konfrontasi dengan Iran. Akan lebih ideal andai kata moderasi di Saudi diikuti pendekatan kebijakan luar negeri yang lebih mengedepankan diplomasi ketimbang konfrontasi.
Sebab, dengan menjauhi gaya konfrontatif dan permusuhan, sedikit-banyak hal itu bisa berkontribusi dalam menciptakan situasi kawasan yang lebih tenang, lebih damai, dan lebih kondusif. Inilah harapan kita semua, melihat situasi Timur Tengah yang tidak melulu diwarnai cekcok, pertarungan urat saraf, perseteruan tanpa akhir, persaingan kekuatan bersenjata, dan pertumpahan darah.