JAKARTA, KOMPAS - Indonesia dinilai kurang cakap masuk dalam jaringan produksi global, sebagaimana negara-negara Asia Timur yang telah memanfaatkannya dengan baik di berbagai sektor sehingga mampu mendorong ekspor. Stagnasi dalam pengembangan jaringan produksi global sejak tahun 2012, yang menjadi akhir era emas komoditas paling baru, menjadi penanda Indonesia kehilangan momentum untuk mendorong ekonominya secara akseleratif.
Hal itu mengemuka dalam acara Forum Kebijakan Hadi Soesastro 2018 yang digelar Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Jakarta, Senin (9/7/2018). Dalam acara itu sekaligus digelar peluncuran buku bertajuk Indonesia in The New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignty. Tampil sebagai pembicara utama Prema-chandra Athukorala dari Universitas National Australia dan Haryo Asicahyono dari CSIS.
Prema-chandra mengatakan, jika jejaring produksi global dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam dinamika jaringan produksi global diibaratkan sebagai kapal, Indonesia tidak ketinggalan kapal yang berlayar itu sama sekali. Di mata Prema-chandra, kapal Indonesia bergerak maju, tetapi lamban.
”Hal itu antara lain terlihat dari kegagalan Indonesia masuk dalam jaringan pasokan global barang-barang elektronika. China dan negara-negara lain di Asia Timur berhasil masuk sehingga terdorong ekspornya,” tutur Prima-chandra.
Haryo mengatakan, jaringan pasokan global mendorong peningkatan perekonomian sebuah negara. Namun, dalam pandangannya, Indonesia telah mengalami sebuah kondisi hilangnya momentum untuk mencapai hal itu, minimal dalam satu momen. Momen itu adalah kala Indonesia mengalami masa emas komoditas yang tumbuh seiring apresiasi nilai tukar rupiah. Dalam hal memanfaatkan momentum, Indonesia dinilai kalah cakap dibandingkan dengan Thailand.
Pandangan kritis
Salah satu editor buku Indonesia in The New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignty, Mari Elka Pangestu, mengatakan, buku itu adalah buku ke-30 dalam Indonesia Update Series. Judul buku itu berubah dari yang direncanakan awal seiring dengan aneka hal yang terjadi secara global, termasuk penerapan tarif oleh Amerika Serikat yang dikhawatirkan memicu perang dagang.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy, yang tampil menjadi penanggap buku itu, menilai, buku itu penting karena melihat kebijakan-kebijakan pemerintah secara kritis dengan data teraktual. Waktu penerbitan buku itu juga dinilainya tepat. (BEN)