Kami Ingin Kembali ke Kampung Halaman
Pengantar:
Atas undangan Taipei Economic and Trade Office (TETO) di Jakarta, sejumlah wartawan Indonesia diundang berkunjung ke Taiwan untuk melihat langsung perkembangan pekerja migran Indonesia dan kawasan lain.
Bangunan tua di bagian kota Taipei itu masih tampak terawat baik. Di kawasan itu ada lapangan olahraga dan sejumlah ruangan kelas. Bangunan itu digunakan untuk kursus kelas kejuruan atau di Indonesia dikenal sebagai kelas vokasi. Pada Minggu, 8 Juli 2018, siang itu, ada tiga kelas vokasi paralel. Ada kelas menata rambut, kelas bahasa Mandarin, dan yang agak ramai adalah kelas membuat bubble tea.
Di kelas membuat bubble tea, sejumlah orang berkerumun. Mayoritas perempuan. Mereka menyimak dengan serius penjelasan instruktur pembuat bubble tea. Instruktur berbicara dalam bahasa Mandarin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada juga orang yang mengabadikan peristiwa itu dengan kamera pintar. Di antara bahasa Mandarin, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia terdengar pula ungkapan dalam bahasa Jawa.
Di ruang kursus ini, tiap hari Minggu, berkumpul sejumlah pekerja migran Indonesia di kota Taipei mengikuti kursus bahasa Mandarin, kursus menata rambut, dan kursus untuk membuat bubble tea yang dikelola Global Workers’ Organization. Nama programnya adalah Migrant’s Upskilling Program. Kursus itu diadakan untuk meningkatkan kompetensi pekerja migran Indonesia. Pendidikan memang eskalator untuk menuju kelas sosial yang lebih tinggi. ”Saya sudah sepuluh tahun di sini, saya akhir Juli ini akan pulang,” kata Sunarti, perempuan pekerja migran Indonesia, ketika ditemui sejumlah wartawan dari Indonesia, Minggu siang itu.
Sunarti adalah perempuan Indonesia yang tinggal di Pangandaran, Jawa Barat. Ia mengaku tinggal bertetangga dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. ”Saya ingin pulang dan mengembangkan bisnis di sana. Di sana, banyak orang luar mengembangkan bisnis di Pangandaran,” ujarnya. Sunarti ditemui saat mengikuti kursus singkat membuat bubble tea. Namun, dia pun telah mengembangkan bisnisnya di bidang e-commerce, ”Saya sudah punya online shopping,” katanya.
Sunarti adalah salah satu dari sekian kisah pekerja Indonesia yang berkeinginan maju. Dia ingin naik kelas. Dia tidak ingin selamanya menjadi pekerja migran Indonesia di luar negeri. Sepuluh tahun bekerja menjadi pekerja migran rasanya sudah cukup untuk punya modal finansial dan kompetensi untuk kembali ke kampung halaman.
Hal serupa juga dialami Atun Sriatun, asal Indramayu. Atun sudah tiga tahun dikontrak sebagai perawat orang usia lanjut di kota Taipei. Dia masih melanjutkan tiga tahun kontrak lagi. Setelah mendapatkan modal finansial dan kompetensi, Atun berminat pulang kampung. ”Masak mau gini-gini terus Pak,” ujarnya.
Adapun di kelas menata rambut hanya ada dua peserta. Salah seorang di antaranya Sri Puwati, asal Pacitan. Karen Hsu, dari LSM Global Workers Organization, mengatakan, pelaksanaan kursus menata rambut membutuhkan biaya. ”Kami mendatangkan pelatih rias profesional sehingga seusai berlatih mereka bisa membuka salon sendiri,” ujar Karen Hsu yang pernah menjadi wartawan ini. Untuk ikut kursus menata rambut, Purwati mengeluarkan biaya 3.000 NT atau sekitar Rp 1.200.000. Biaya itu termasuk untuk membeli perlengkapan menata rambut.
Di Taiwan, ada lebih dari 260.000 warga negara Indonesia, mayoritas adalah pekerja migran. Sebagian besar dari mereka berprofesi menjaga orang lanjut usia. Gaji mereka rata-rata berkisar 17.000 NT (dollar Taiwan) sampai 23.000 NT, dipotong untuk agen sebesar 1.500 NT. Setiap bulan rata-rata pekerja migran mengirim uang ke kampung halaman sekitar 10.000 NT (sekitar Rp 4 juta).
Jumlah pekerja migran di Taiwan sekitar 670.000. Pekerja migran Indonesia cukup mendominasi di Taiwan. Para pekerja migran Indonesia di Taiwan lebih bisa merasakan kebebasan berekspresi di negara demokrasi, Taiwan. Sebut saja, Bening, pekerja migran Indonesia, asal Solo, yang sering diundang tampil menari di acara-acara di Taiwan. ”Di sini lebih bisa berekspresi,” ujar Wahyuni, pekerja asal Jawa Timur yang pernah bekerja di Arab Saudi.
Banyak juga di antara mereka yang kemudian menikah dengan orang Taiwan dan kemudian menetap di Taiwan. Seperti Rosada, asal Indramayu, yang menikah dengan orang Taiwan dan tinggal di Taichung. ”Saat ada tamu dari Indonesia, saya diundang membantu menemani atau menerjemahkan,” kata Rosada yang punya nama Taiwan, Cienti.
Sejumlah warga negara Indonesia yang menikah dengan orang Taiwan ada juga yang sukses berusaha di Taipei. Banyak warung-warung Indonesia dan makanan Indonesia dibuka di Taipei, khususnya di kawasan Indonesia, di dekat stasiun utama Taipei.
Dari sisi tampilan, pekerja migran Indonesia di Taiwan tampak lebih modis. Telepon pintar tak pernah lepas dari tangannya. Di tempat-tempat menarik mereka ber-selfi ria ada yang melakukan video call dengan lawan bicaranya. Ketika sejumlah wartawan Indonesia menemui mereka di kawasan stasiun utama Taipei, para pekerja migran itu melakukan live streaming melalui akun Facebook mereka.
Hari Minggu ibaratnya hari kemerdekaan bagi para pekerja migran. Pada hari Minggu-lah mereka bisa bebas dan bertemu dengan sesama pekerja migran. Lobi utama stasiun kereta di pusat kota Taipei selalu diokupasi pekerja migran Indonesia. Mereka berada di sana, berkumpul, dan saling berbagi informasi. Ada juga beberapa di antaranya yang ikut kursus di Global Worker untuk meningkatkan kompetensi.
Namun, tidak setiap hari Minggu, para pekerja migran itu bisa keluar rumah. ”Kadang majikan tak mengizinkan ke luar. Ada kompensasi uang dari majikan jika mereka tak bisa keluar rumah. Namun, yang pasti setiap bulan ada satu hari Minggu, mereka bisa menikmati kebebasan,” ujar seorang pekerja.
Global Workers’ Organization adalah sebuah LSM di Taiwan. Lembaga itu berfokus untuk meningkatkan kompetensi pekerja migran. ”Pekerja migran sangat minim mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan selama bekerja. Setelah kembali ke negara asal, sebagian besar dari mereka kesulitan lahan pekerjaan yang mampu mendukung perekonomian mereka sehingga mereka harus kembali bekerja sebagai pekerja migran. Karena itu, organisasi ini hadir,” kata seorang pengurus GWO.
Kehadiran GWO untuk meningkatkan keterampilan ini sejalan dengan program Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Kedua organisasi internasional itu membantu pekerja migran mencukupi kebutuhan perekonomian saat kembali ke negara asal.
Hadirnya program peningkatan kompetensi pekerja migran itu sejalan dengan program Pemerintah Taiwan yang diberi tajuk New South Bound Policy yang diinisiasi Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dua tahun lalu. New South Bound Policy merupakan pendekatan soft power yang dikembangkan Taiwan ke negara selatan, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan teknologi.
Indonesia dan Taiwan tak punya hubungan diplomatik. Namun, kerja sama ekonomi dan perdagangan keduanya berjalan. Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu kepada wartawan Indonesia di Taipei mengatakan, ”Kami siap bergerak dan bekerja sama dengan Indonesia, termasuk meningkatkan pelayanan publik agar lebih welcome terhadap warga negara Indonesia,” ujar Joseph Wu.
Menjadi pekerja migran adalah pilihan terpaksa. Sulitnya mencari kerja di Tanah Air membuat warga negara Indonesia memilih menjadi buruh migran di sejumlah negara, termasuk Taiwan. Santa Maria Pangaribuan, seorang mahasiswa program master di Taipei, yang menjadi sukarelawan di GWO mengatakan, program peningkatan kompetensi tenaga kerja migran penting untuk memberikan bekal ketika mereka kembali ke tanah air. ”Tetapi, yang juga penting adalah literasi mental dan kecakapan pengeloaan keuangan,” katanya.
”Saya sih berharap tidak selamanya mereka menjadi pekerja migran. Mereka harus mau pulang ke kampung halaman setelah bekal kemampuan dan finansial cukup. Ini soal motivasi dan mindset dari pekerja yang harus dibangun,” kata Santa Maria, seorang dosen di akademi keperawatan di Jakarta yang sedang studi di Taipei dan kerap mendampingi pekerja migran Indonesia.