LONDON, RABU - Perdana Menteri Inggris Theresa May mengancam akan menyelenggarakan percepatan pemilu jika para pemberontak di tubuh Partai Konservatif tidak mendukung proposal pemerintah terkait dengan strategi Brexit.
Percepatan pemilu diperkirakan akan mengakhiri bukan saja kekuasaan May, melainkan juga dominasi Partai Konservatif. Apalagi, Partai Buruh pimpinan Jeremy Corbyn unggul dalam jajak pendapat awal bulan ini.
May terus dibelit krisis internal di tubuh partai, yang terbelah antara kubu pro Uni Eropa dan kubu pro Brexit. Pekan lalu, juru runding Inggris, David Davis, dan Menlu Boris Johnson mengundurkan diri karena menganggap posisi Inggris semakin lemah dalam perundingan Brexit.
Namun, pemberontakan juga datang dari para anggota parlemen Konservatif yang pro Uni Eropa. Menurut The Times, pihak pengawas Konservatif telah memberikan peringatan kepada mereka, bahwa jika proposal pemerintah kalah dalam voting, maka May akan melakukan percepatan pemilu.
Dalam voting di Majelis Rendah, Selasa (17/7/2018) malam, usulan pemerintah lolos dengan suara tipis, 307 berbanding 301. Hasil itu terbantu oleh empat suara dari anggota Partai Buruh yang pro Brexit.
Pemberontakan kubu pro UE terjadi karena May akhirnya tunduk pada tuntutan dari kubu garis keras yang pro Brexit dan memasukkan pada usulannya.
Kubu pro UE menginginkan amendemen bahwa Pemerintah Inggris akan bernegosiasi untuk tetap ”berada dalam bea cukai bersama UE” jika sampai dengan 21 Januari 2019 Inggris gagal menegosiasikan perdagangan bebas tanpa friksi dengan UE.
Hasil voting merupakan ”kemenangan” kedua May setelah Senin lalu usulan May juga lolos majelis rendah, tetapi dengan selisih tipis, tiga suara. Adapun untuk isu regulasi obat-obatan, usulan May kalah di majelis rendah.
Seluruh proposal itu kini dibawa ke majelis tinggi (House of Lords). Jika usulan itu ditolak di majelis tinggi, maka akan dilakukan pemungutan suara final di majelis rendah.
Rentan
Perbedaan tipis dalam voting di parlemen, juga pembangkangan di dalam Partai Konservatif, menunjukkan rentannya pemerintahan May. Juru bicara Partai Buruh, Barry Gardiner, menyatakan, apa yang terjadi di parlemen adalah ”kekacauan”. ”Kita memiliki perdana menteri, tetapi tidak memiliki kekuasaan,” kata Gardiner.
Mantan PM Inggris Tony Blair menggambarkan pendekatan pemerintah ”betul-betul berantakan”. ”Satu-satunya jalan keluar dengan mengadakan referendum kedua. Isu Brexit dimulai dengan referendum dan hanya bisa diakhiri dengan referendum,” kata Blair kepada AFP.
Mantan PM Inggris lainnya, John Major, juga mendukung adanya referendum kedua karena posisi publik Inggris kini sudah lebih mengakar. ”Posisi Theresa May lebih sulit dibandingkan dengan posisi saya dulu. Ia menghadapi kubu garis keras yang lebih banyak dan lebih kuat,” kata Major.