”Kata-kata tidak bisa mewakili kegembiraan yang kami rasakan sebagai satu keluarga.”
Kata-kata itu diucapkan Senait Tesfaye (37), perempuan penumpang pesawat Ethiopian Airways ET 0312, ketika pesawat maskapai penerbangan Etiopia itu memasuki wilayah udara Eritrea, Rabu (18/7/2018). Ia dan bayi laki-laki berusia tiga tahun di pangkuannya—bersama 313 penumpang lain—menjadi saksi sejarah penerbangan komersial pertama dalam dua dekade yang menghubungkan Etiopia dan Eritrea. Dua negara ini selama 20 tahun dikoyak perang terkait masalah perbatasan.
”(Penerbangan) ini yang pertama kali terjadi dalam 20 tahun,” kata Tewolde GebreMariam, Kepala Eksekutif Ethiopian Airways, melalui pengeras suara dalam pesawat itu.
Ketika lampu tanda peringatan ”kencangkan sabuk” mati, para penumpang berdiri dari tempat duduk masing-masing. Mereka menari, bertepuk tangan, dan berpelukan satu sama lain sambil menyanyi di lorong pesawat. Seorang musisi memainkan instrumen musik tradisional kirar.
Penerbangan itu memang bukan penerbangan biasa. Hari itu, Ethiopian Airways menerbangkan dua pesawat dari Addis Ababa, ibu kota Etiopia, menuju Asmara, ibu kota Eritrea. Momen itu terjadi kurang dari dua pekan setelah pemimpin kedua negara mencapai kesepakatan damai yang mengakhiri konflik mereka sejak perang tahun 1998-2000.
Diperkirakan 80.000 orang tewas dan puluhan ribu warga Etiopia keturunan Eritrea lainnya dideportasi ke Eritrea. Akibatnya, banyak keluarga tercerai-berai dan terpisahkan satu sama lain di kedua negara tersebut.
Bagi sebagian besar penumpang, penerbangan di hari bersejarah itu tak ubahnya penerbangan menuju reuni akbar yang menyatukan keluarga yang selama 20 tahun terpisah. ”Burung perdamaian baru saja terbang ke #Asmara #Reunikeluarga #Etiopia #Eritrea,” demikian tulisan yang diunggah di halaman Facebook Ethiopian Airways setelah pesawat lepas landas.
Selama penerbangan, penumpang berswafoto dan bersulang sampanye yang dihidangkan awak pesawat di semua kelas. Dengan tersenyum ramah, awak pesawat juga membagikan bunga mawar kepada penumpang.
”Kami sudah rindu untuk bertemu dengannya (nenek kami) selama bertahun-tahun,” ujar Tesfaye sambil memangku Naby, bayinya. Keduanya akan menemui Abrehet, nenek dan cicit mereka yang ikut dideportasi ke Eritria sejak konflik meletus. ”Ia kini akan menghabiskan waktu bersama nenek, lebih lama dari waktu yang pernah saya jalani.”
Setelah pesawat mendarat di Asmara, penumpang tumpah ruah keluar menuju tarmak bandara dan menari bersama warga Eritrea yang sudah menanti. Mereka mengibarkan bendera kedua negara. Saat bertemu, para anggota satu keluarga yang terpisah bertahun-tahun tak mampu menahan air mata. Haru sekaligus bahagia tak terlukiskan.
”Saya tidak bisa menjelaskan perasaan ini,” kata Fasika Moges, yang tinggal di Addis Ababa dan bertemu saudara perempuannya, Lula, setelah terpisah sejak perang tahun 1998-2000.
Perubahan besar
Di antara penumpang, terdapat mantan Perdana Menteri Etiopia Hailemariam Desalegn yang mengeluarkan keputusan mengejutkan dengan mengundurkan diri, Februari lalu. Hal itu menjadi langkah awal dari serangkaian perubahan besar dalam hubungan Etiopia-Eritrea.
Hailemariam digantikan Abiy Ahmed (42), mantan pejabat militer. Setelah mengumumkan liberalisasi sejumlah sektor ekonomi Etiopia dan membebaskan para tahanan politik, akhir Juni lalu ia mengumumkan keinginan berdamai dengan Eritrea.
Eritrea, negara dengan garis pantai di Laut Merah, pernah menjadi bagian dari Etiopia sebelum memilih merdeka tahun 1993 setelah puluhan tahun terlibat konflik berdarah. Perbedaan sengit terkait soal perbatasan kedua negara memicu perang brutal tahun 1998-2000.
Abiy mengejutkan banyak kalangan setelah mengumumkan dia menerima demarkasi perbatasan tahun 2002 yang didukung PBB. Ia lalu berkunjung ke Eritrea dan menemui Presiden Eritrea Isaias Afwerki. Dalam pertemuan itu, kedua pemimpin secara resmi menyatakan penghentian perang dan pemulihan hubungan antara Etiopia dan Eritrea.