JAKARTA, KOMPAS - Malaysia memastikan hubungan dengan China akan tetap erat. Rencana pemerintahan baru Malaysia meninjau beberapa kerja sama dinyatakan tidak akan mengganggu hubungan itu.
”Hubungan Malaysia dan China sudah terjalin lebih dari 2.000 tahun dan akan terus berlanjut. Ada satu atau dua proyek (yang dikaji ulang) tidak akan menjadi hambatan,” ujar Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah dalam paparan Kebijakan Luar Negeri Malaysia, Senin (23/7/2018), yang diselenggarakan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Jakarta.
Malaysia memastikan akan tetap meninjau sejumlah proyek yang disetujui pemerintahan Najib Razak dengan China. Peninjauan itu untuk memastikan proyek-proyek itu sesuai kebutuhan Malaysia. ”Kami tidak akan menyalahkan mitra kami di negara lain. Mereka tidak salah karena membuat perjanjian dengan negara berdaulat. Akan tetapi, kami akan tetap meninjau semua (kesepakatan),” katanya.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengutus politisi senior Daim Zainuddin ke China untuk membicarakan proyek-proyek itu. Saifuddin dan Mahathir juga akan ke China meski tidak secara khusus membahas proyek-proyek itu.
Malaysia juga akan membahas dua perjanjian dengan Singapura soal air dan kereta cepat. Perjanjian penjualan air dari Johor Bahru dinyatakan sedang dibahas. Menteri Ekonomi Malaysia Azmin Ali akan ke Singapura untuk membahas soal kereta cepat.
Paradigma Baru
Saifuddin juga kembali menegaskan, pemerintahan Mahathir membawa paradigma baru. Malaysia sedang mempertimbangkan untuk meratifikasi sisa enam prinsip dalam deklarasi HAM internasional. Kini, Malaysia sudah meratifikasi tiga dari sembilan prinsip dalam deklarasi HAM internasional.
Paradigma baru juga mendorong Pemerintah Malaysia akan meninjau pendekatan lain selain dari aspek hukum pada masalah Rohingya. Malaysia akan mendorong aspek kemanusiaan dalam masalah itu. ”Tentu saja aspek legal akan ada dan tidak mudah diselesaikan. Akan tetapi, perlu juga untuk melihat mereka sebagai manusia,” ujarnya.
Sementara terkait Indonesia, ia menegaskan hubungan Malaysia-Indonesia akan tetap erat. ”Negara Asia Tenggara pertama yang dikunjungi Pak Mahathir adalah Indonesia. Menlunya juga mengunjungi Indonesia,” ujarnya.
Ia menekankan Indonesia-Malaysia harus bekerja sama melawan kampanye antisawit di pentas internasional. Bagi Indonesia dan Malaysia, sawit bukan hanya masalah ekonomi.
”Ada isu politik juga. Di Malaysia, 54 daerah pemilihan mengandalkan suara (pemilih di perkebunan) sawit,” ujarnya.
Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan, Indonesia-Malaysia memang sepakat untuk bekerja sama di isu itu. ”Kami sepakat meningkatkan kerja sama melawan kampanye negatif terhadap produk sawit di Uni Eropa,” ujarnya.
Indonesia dan Malaysia akan bersama-sama mengelola agar isu sawit bisa dikelola secara terstruktur. Kesepakatan itu menyikapi pertemuan Komisi Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Uni Eropa pada 14 Juni 2018. Dalam pertemuan itu, ada beberapa kesepakatan soal kelapa sawit. Memang, pertemuan itu tidak mencantumkan pernyataan khusus yang melarang penggunaan produk sawit dan produk turunan minyak sawit.
Namun, Uni Eropa membuat Pedoman Energi Terbarukan (RED II) yang berpotensi membatasi pasokan produk sawit. Dalam RED II, atau klausul untuk membahas sumber bahan bakar nabati, dinyatakan berisiko terhadap perubahan penggunaan lahan baik langsung maupun tidak langsung. Pembatasan juga akan dikenakan pada produk bahan bakar nabati dari bahan baku dari areal yang menggunakan lahan penyimpan karbon. Pembatasan itu akan diberlakukan mulai 2019. (RAZ)