Pernyataan mengejutkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (31/7/2018) di Tampa, Florida, tentang kesediaannya melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Iran tanpa prasyarat sesungguhnya tidak terlepas dari kunjungan Menteri Luar Negeri Kesultanan Oman Yusuf bin Alawi ke Washington DC, pekan ini.
Pernyataan Trump itu muncul sehari setelah Yusuf bin Alawi bertemu Menlu AS Mike Pompeo pada Senin (30/7) di Washington DC. Kunjungan Menlu Yusuf terjadi hanya beberapa hari setelah ia bertemu Menlu Iran Mohammad Javad Zarif. Menurut situs Iran, Jamaran, kunjungan Menlu Yusuf ke Washington DC untuk tujuan mediasi antara Iran dan AS.
Situs Jamaran menyebutkan, Menlu Yusuf mengunjungi Washington DC setelah mendapat lampu hijau dari Presiden Iran Hassan Rouhani. Menjadi mediator AS-Iran bukan hal baru bagi Oman. Sebelumnya, Oman berhasil mengantarkan tercapainya kesepakatan nuklir Iran bulan Juli 2015. Kota Muskat, ibu kota Oman, menjadi tempat perundingan rahasia antara Menlu AS John Kerry dan Menlu Iran Mohammad Javad Zarif sebelum tercapai kesepakatan nuklir Iran itu.
Oman, meskipun anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), secara politik dikenal lebih dekat ke Iran daripada ke Arab Saudi. Dalam konteks politik regional, Oman dikenal menganut kebijakan politik netral dan sangat menolak ikut campur urusan dalam negeri negara lain. Oman juga memiliki tradisi politik menolak terseret dalam politik kubu-kubuan di Timur Tengah. Karena itu, Oman selalu diterima oleh semua pihak untuk berperan sebagai mediator.
Pelik
Komandan Garda Revolusi Jenderal Mohammad Ali Jafari dalam sebuah surat terbuka yang diterbitkan di media lokal mengatakan, rakyat Iran tidak mengizinkan pejabat Iran bertemu Trump. Adapun Presiden Iran Hassan Rouhani memilih diam. Rouhani tampaknya masih memberikan kesempatan kepada Menlu Oman untuk melakukan misi mediasinya.
Bagi Rouhani, tercapainya kesepakatan kembali dengan AS merupakan kepentingan strategis dalam upaya menangkal krisis ekonomi dalam negeri yang memicu rentetan unjuk rasa pada bulan Desember, Januari, dan meletup lagi akhir Juni lalu. Diawali isu ekonomi, unjuk rasa itu kini mengarah kepada tuntutan politik, yaitu mundurnya Presiden Rouhani.
Jika misi Oman menemukan titik terang, akan ada dinamika baru dalam hubungan AS-Iran. Tidak tertutup kemungkinan Iran-AS kembali memilih jalan perundingan rahasia. Sebaliknya, apabila misi itu gagal, tantangan bagi Rouhani akan sangat berat karena harus menghadapi krisis ekonomi dalam negeri dan dalam waktu yang sama juga menghadapi sanksi baru AS.
Jika opsi perundingan rahasia dipilih, diperkirakan perundingan itu akan berjalan di tengah dimulainya sanksi baru AS. Paket sanksi pertama akan dijatuhkan Senin (6/8), disusul paket sanksi kedua, Minggu (4/11) mendatang. Paket sanksi tahap kedua itu sangat menentukan bagi AS ataupun Iran karena terkait sektor migas. Pasalnya, 64 persen devisa Iran diperoleh dari ekspor migas. Karena itu, sukses dan gagalnya sanksi AS terhadap Iran pascapembatalan kesepakatan nuklir sangat bergantung pada paket sanksi tahap kedua atau sektor migas.
Iran akan membuat ukuran sejauh mana peluang sukses dan gagalnya sanksi AS terkait sektor migas tersebut. Ukuran itu akan menentukan jalannya perundingan rahasia.
Jika Iran merasa sanksi AS tidak akan efektif, Teheran akan jual mahal dan bersikap keras dalam perundingan itu. Jika Iran merasa sanksi AS akan efektif, Teheran akan bersedia menempuh jalan kompromi, atau memberi konsesi. Sukses dan gagalnya sanksi AS terhadap Iran juga bergantung pada sikap China, India, dan Eropa sebagai pengimpor minyak Iran terbesar.