Pertemuan menlu negara-negara anggota ASEAN (AMM) dan perhelatan yang mengiringinya, Forum Regional ASEAN (ARF) dan Pertemuan Puncak Asia Timur (EAS) yang bersama dengan mitra wicara ASEAN di Singapura pekan lalu berlangsung mulus. Sejumlah isu, seperti pembangunan komunitas ASEAN, situasi di Laut China Selatan, serta perdamaian di Semenanjung Korea dan terorisme menjadi perhatian bersama. Tidak ada kendala berarti saat menlu ASEAN harus melahirkan Komunike Bersama.
Saat sesi foto bersama di sela-sela pertemuan ARF, Menlu AS Mike Pompeo dengan ramah menyalami mitranya, Menlu Korea Utara Ri Yong Ho yang menyambut uluran tangan itu dengan antusias. Keduanya saling melempar senyum.
Namun, apakah semua proses berjalan sedemikian mulus? Tampaknya tidak. Terkait isu denuklirisasi Semenanjung Korea, AS dan sekutunya masih berkukuh pada sanksi atas Korut. Sebaliknya, Korut menilai sikap itu justru tidak akan mendorong perubahan, bahkan mundur. Pendek kata, tidak berimplikasi positif pada upaya menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea.
Tentang relasi baik, sekaligus rivalitas itu, Menlu RI Retno LP Marsudi mengatakan, EAS merupakan salah satu contoh terbaik di mana kebiasaan berdialog bisa dilakukan untuk mengangkat isu sensitif apa pun di antara pemain-pemain besar dunia (Kompas, Minggu, 5 Agustus 2018).
Berkaca pada situasi di belahan lain dunia, baik di kawasan Asia Selatan, Afrika, maupun khususnya Timur Tengah, stabilitas, perdamaian, dan keamanan di kawasan Asia Tenggara dan Timur-meskipun diwarnai dengan naik-turunnya ketegangan di Semenanjung Korea dan Laut China Selatan-jauh lebih terjaga. Boleh jadi cara bertindak khas ASEAN yang mengedepankan dialog dan konsensus justru mampu menjembatani banyak perbedaan yang ada.
Cara-cara khas timur, yaitu duduk bersama, berbicara dalam posisi yang sejajar, dalam suasana yang relatif damai, membuat apa yang dikatakan oleh Menlu Retno tentang EAS sebagai ruang dialog memang benar-benar terjadi. Tentang itu, menarik mengikuti pemikiran Habermas-sebagaimana Franz Magnis- Suseno menulisnya dalam buku berjudul Berfilsafat dari Konteks-yaitu komunikasi hanya bisa terjadi di lingkup bebas kekuasaan, di luar situasi terancam, di ruang-ruang damai.
Yang kuat dan yang lemah ada dalam posisi sejajar. Mengikuti pemikiran Hannah Arendt, relasi kekuasaan yang ada didasarkan pada pengakuan bebas semua peserta. Yang oleh Magnis dicirikan sebagai salah satu tema utama filsafat politik, yaitu keadilan, di mana hak semua pihak terjamin.
Dalam ruang seperti ASEAN, EAS, dan ARF-mengacu pada pemikiran di atas-konflik atau rivalitas yang muncul didekati dengan orientasi pada ide tentang keadilan. Bukan melalui perkelahian, perang, atau paksaan, sebagaimana ditulis Magnis.
Di sisi lain, sejumlah pihak menilai bahwa cara bertindak ASEAN yang mengedepankan konsensus justru bertele-tele dan kerap menjadi ganjalan saat harus mengambil sikap tegas terkait isu internal ataupun eksternal. Sikap itu kemudian diperkuat oleh kebijakan untuk tidak saling mencampuri urusan dalam negeri setiap negara anggota. Bagi sejumlah pihak, kesepakatan itu dinilai menghambat ASEAN, terutama ketika asosiasi itu harus mengambil sikap-sikap politik atas isu regional, contohnya Rohingya di Myanmar.
Akan tetapi, cara itu terbukti cukup relevan untuk menjembatani sejumlah perbedaan dan pertentangan di kawasan. Setiap negara yang terlibat tidak khawatir terhadap veto dari negara lain. Ketika cara bertindak itu dibawa ke lingkungan yang lebih luas, seperti EAS dan ARF, cara itu terbukti relevan.
Dalam konteks itu, menarik mencecap tulisan Magnis dalam buku itu bahwa yang buruk bukanlah adanya situasi yang tegang, melainkan bahwa ketegangan mau dipecahkan melalui paksaan dan bukan melalui kesepakatan berdasarkan pertimbangan keadilan. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)