Kurs Rupiah Seharusnya Bisa Aman
Kurs rupiah telah merosot bersama kurs mata uang sejumlah negara berkembang lainnya terutama sejak 2015. Salah satu penyebab utamanya adalah, efek taper tantrum. Ini sebutan bagi dampak kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS terhadap pelarian modal asing yang menyebabkan depresiasi kurs rupiah dan sejenisnya.
Pelarian ini tidak langgeng dan investasi asing masuk lagi ke negara-negara berkembang hingga 3,7 triliun dollar AS pada kuartal pertama 2018, menurut laporan The Bank for international Settlements (BIS).
Efek taper tantrum mengemuka lagi setelah Bank Sentral AS menaikan suku bunga inti pada 21 Maret 2018 dan 13 Juni 2018 menjadi 2 persen. Hal ini kembali memerosotkan kurs dan menghiasi berita utama pasar valuta asing negara-negara berkembang.
Kenaikan suku bunga di AS itu sebenarnya tidak menurunkan prospek investasi di negara-negara berkembang. Keuntungan investasi tetap lebih besar di negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi global pun tercipta di kawasan negara-negara berkembang, meski bukan di AS, Eropa atau Jepang.
Akan tetapi, kenaikan suku bunga di AS itu merupakan bagian dari pengetatan kembali uang beredar oleh Bank Sentral yang menyebabkan isu pelarian modal. Kurs rupiah pun menjadi “korban”. Kurs rupiah pada 9 Agustus 2018 bertengger pada angka Rp 14.352 per dollar AS. Ini merosot 20 persen dibandingkan kurs pada 20 Oktober 2014 sebesar 11.981 berdasarkan kurs jual Bank Indonesia.
Sejak awal 2018 hingga 9 Agustus 2018, kurs rupiah merosot 6,5 persen. Hanya saja pelemahan kurs rupiah ini bukan yang terburuk walau bukan yang terbaik. Kurs real Brazil, rand Afrika Selatan, lira Turki dan lainnya anjlok lebih drastis.
“Trauma Soros”
Hal paling menakutkan soal pergerakan kurs ini bukan sekadar kenaikan suku bunga di AS. Pergerakan kurs negara-negara berkembang juga tidak semata-mata akibat pelarian modal. Ada faktor spekulasi oleh spekulan yang sangat menakutkan dengan strategi bernama “short”. Ini sebutan untuk penjualan mata uang dengan perkiraan kurs akan merosot lagi demi perolehan untung dari pergerakan kurs.
Spekulan ikut bermain dalam suasana keruh dan turut memainkan isu kenaikan suku bunga di AS. Hal ini bahkan bisa melahirkan efek domino berskala besar. Indonesia mengalami hal ini pada tahun 1998. Oleh sebab itu saat kurs mata uang bergolak ada satu pertanyaan yang selalu muncul. Seberapa jauh rupiah dan kurs negara-negara berkembang jatuh?
“The sky is the limit (tiada batasan),” demikian kata pakar valuta asing Theo F Toemion. Batasan kejatuhan tidak bisa diduga sebab tidak ada yang bisa menduga kekuatan dahsyat pasar.
Kekuatan dahsyat pasar ini nyata ketika poundsterling amblas dari 2,81 deutsche mark (DM) pada 16 September 1992 ke level 2,4 DM hingga akhir tahun 1992. DM adalah mata uang Jerman sebelum menggunakan mata uang tunggal, euro. Kejatuhan besar poundsterling menciptakan istilah black Wednesday dan merugikan Bank of England (Bank Sentral Inggris) sebesar 3 miliar dollar AS (https://www.theguardian.com/politics/2005/feb/09/freedomofinformation.uk1).
Ini terjadi ketika spekulan terkenal dunia George Soros menyerang poundsterling. Ini menimbulkan trauma. Kasus ini menjadi salah satu satu kisah terbesar tentang aksi spekulan melawan pemerintah, dalam hal ini Bank of England.
Meski demikian serangan Soros pada poundsterling didasarkan pada fondasi ekonomi Inggris yang rawan ketika itu. Ketika menyerang poundsterling alasan Soros adalah kurs poundsterling terlalu tinggi tak didukung fondasi ekonomi makro. (https://www.telegraph.co.uk/finance/2773265/Billionaire-who-broke-the-Bank-of-England.html).
Kurs mata uang negara-negara berkembang dan rupiah secara empiris jatuh atau menguat selalu didasarkan pada fondasi dan rambu-rambu ekonomi. Krisis terparah Asia pada 1997 dipicu fondasi rapuh termasuk pinjaman asing yang berlebihan, dan dimulai dari Thailand.
Rambu-rambu aman
Pesan dari “trauma Soros” adalah jaga rambu-rambu ekonomi. Terkait fondasi ini otoritas moneter Indonesia sebenarnya cukup saksama memberi perhatian memadai. Menkeu Sri Mulyani berkali-kali mengatakan rambu-rambu ekonomi Indonesia relatif baik. Hal serupa juga sudah disuarakan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. Data-data Bank Indonesia memperlihatkan posisi keuangan Indonesia yang relatif solid.
Salah satu indikatornya adalah posisi debt service ratio, perbandingan antara kewajiban utang jangka pendek dengan penerimaan devisa. Berdasarkan garisan umum rasio ini seharusnya maksimal 30 persen. Untuk Indonesia rasio ini sekitar 25 persen dan dianggap aman.
Rasio lain adalah defisit neraca transaksi berjalan terhadap PDB (produksi domestik bruto). Defisit ini menunjukkan kewajiban luar negeri yang lebih besar dari penerimaan devisa. Rasio ini sebaiknya tidak lebih dari 3 persen.
Di hadapan DPR-RI pada 25 Juli 2018 lalu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan defisit ini sebesar 25 miliar dollar AS yang artinya ada di bawah 3 persen. Soal rasio ini posisi Indonesia lebih baik dari Chile, Afrika Selatan, China, Brazil, India, Argentina, Malaysia dan Peru berdasarkan data dari The Bank for Internasional Settlements (BIS) pada Juli 2018. Ini adalah deretan negara-negara berkembang dengan perekonomian relatif terbuka yang sering mengalami gejolak mata uang.
Rambu yang tak kalah penting adalah rasio total utang terhadap PDB. Rasio ini disarankan agar tidak lebih dari 60 persen. Untuk Indonesia rasio ini masih sekitar 34,77 persen berdasarkan data Bank Indonesia pada kuartal pertama 2018. Utang ini menjadi salah satu isu yang dipelototi khayalak sekarang ini. Terjadi peningkatan utang luar negeri Indonesia menjadi 358,73 miliar dollar AS.
Akan tetapi, hal terpenting bukan nilai absolut utang tetapi rasionya yang relatif aman. Sri Mulyani berkali-kali mengatakan, semua rasio-rasio itu bisa diturunkan lagi. Akan tetapi, itu artinya sama dengan tidak membangun, tidak memberi perhatian pada warga tak mampu semisal pos subsidi di anggaran pengeluaran dan belanja negara.
Jika tidak membangun jaringan transportasi, sebagai salah satu masalah akut negara, maka tidak ada pergerakan menuju kemajuan di tengah persaingan bangsa-bangsa yang semakin kompetitif. Jika hanya menunggu karena ketakutan akan rasio-rasio semata, persoalan infrastruktur tidak akan pernah teratasi. "Maka diputuskan, hal terpenting adalah menjalankan pembangunan dengan terus memperhatikan rambu-rambu ekonomi," kata Sri Mulyani.
Untuk apa terlalu risau dengan rambu-rambu sepanjang semuanya terkendali. Seiring dengan itu laporan dari sektor riil juga “on track”. “Ada perbaikan di neraca perdagangan,” kata ekonom Wisnu Wardana.
Pasar memahami
Tampaknya pasar memahami posisi Indonesia. Seperti diberitakan di situ Bloomberg pada 8 Agustus, setelah lima bulan diterpa penjualan oleh asing atas obligasi lokal kurs rupiah telah anjlok 6 persen. Kurs rupiah sekarang bertengger pada kisaran Rp 14.500 per dollar AS. Namun kini, sebagian dana asing memutuskan kembali lagi. Loomis Sayles & Co berniat membeli lagi obligasi RI setelah memerhatikan fondasi ekonomi yang baik.
Perusahaan lain bernama Western Asset Management Co mengatakan Bank Indonesia pro-aktif soal stabilisasi kurs. BI misalnya telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,25 persen. “Respons Indonesia setahap di depan,” kata Desmond Soon, seorang pengelola dana investasi yang berbasis di Singapura.
Temuan dari survei HBCS yang dipublikasi pada 25 Juli menyimpulkan, hampir 80 persen investor akan melanjutkan pembelian obligasi Asia, khususnya yang mendukung infrastruktur. Prospek ekonomi Asia tidak menyurutkan niat masuk investor obligasi.
Kebetulan Bank Sentral AS memutuskan untuk tidak menaikkan untuk sementara suku bunga inti. Pada 1 Agustus seperti diberitakan harian The New York Times, Bank Sentral AS mempertahankan suku bunga inti di pada level 1,75 – 2 persen. Ini memberikan kelegaan. Sejak 2015 salah satu penyebab gejolak kurs adalah kenaikan suku bunga di AS.
Faktor eksteral mengintai
Namun Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyatakan, pada sisa sepanjang 2018 akan ada kenaikan lanjutan suku bunga inti. Pernyataan Powell berpotensi memberikan goncangan baru. Indonesia berpotensi direpotkan lagi. “Sementara ini, Bank Indonesia pro-aktif tetapi tidak berarti Indonesia luput dari masalah,” kata Rohit Garg, ahli obligasi dan valuta asing pada Bank of America Merrill Lynch di Singapura, Reuters, 27 Juli.
Argumentasi Garg telah pula memasukkan ketidakpastian soal isu perang dagang AS-China, yang mengimbas secara psikologis ke pasar valuta asing.
“Saya kira negara-negara berkembang secara umum belum akan pulih pada paruh tahun ini karena gambaran yang tidak pasti,” kata Christopher Shiells, pakar tentang pasar negara berkembang dari Informa Global Markets seperti diberitakan Reuters, 9 Agustus.
Begitu terserang gejolak kurs, berbagai faktor pun turut menambah kekisruhan pasar. Isu politik sekarang menjadi penambah masalah bagi kurs di Brazil. Keunggulan Jair Bolsonaro dalam jajak pendapat untuk calon populis menjelang pemilu presiden di Brazil atas capres pro-pasar Geraldo Alckmin pun turut memukul real Brazil yang kini bertengger di level 3,82 realper dollar AS.
Mengantisipasi potensi gejolak
Meski demikian otoritas moneter RI tidak diam. Ada upaya lain yang dilakukan orotitas moneter untukmengamankan rupiah yang masih bergolak. Menteri Perekonomian Darmin Nasution pada 2 Agustus di Jakarta menyinggung upaya mendorong penempatan devisa kembali ke Indonesia. Sejauh ini baru 80 persen hasil devisa yang direpatriasi ke tanah air. Ini merupakan bagian persuasi yang juga lazim dalam ilmu ekonomi.
Upaya lain adalah seruan Menkeu pada sektor swasta untuk juga mengamankan rambu keuangannya terkait kewajiban luar negeri. Selain sektor pemerintah, beban kewajiban luar negeri swasta juga berperan kuat menekan kurs rupiah. Jika tekanan ini tidak ditangani aka nada kemerosotan kurs yang menaikkan beban kewajiban luar negeri dan inflasi impor.
Mengatasi “dosa asal”
Tentu di dalam jangka panjang, pengikisan “dosa asal” soal utang atau beban luar negeri juga menjadi hal yang paing hakiki. “Dosa asal” (original sin), istilah untuk penumpukan utang luar negeri dalam denominasi dollar AS atau mata uang kuat dunia lainnya menjadi penyebab utama.
Istilah “dosa asal” ini dicuatkan pada 1999 oleh dua ekonom AS, Barry Eichengreen dan Ricardo Hausmann setelah krisis mata uang mendera Asia. Kesalahan atau dosanya adalah ketidakmampuan satu negara, dalam hal ini negara berkembang, meminjam dari luar negeri dalam denominasi mata uang sendiri. Faktor lain, ketidakmampuan negara untuk meminjam dalam dollar maupun mata uang lokal dengan jangka waktu lama (http://www.nber.org/papers/w7418.pdf).
Tentu bisa diduga, “dosa asal” ini juga tidak lepas dari sejarah kebobrokan pemerintahan di sejumlah negara berkembang, termasuk sejarah korupsi dan sejarah ketidakmampuan mengelola perekonomian makro.
Strategi industri
Faktor lain yang juga membuat Indonesia rentan pada goncangan eksternal soal daya saing Indonesia baik dalam ekspor. Bagaimana membuat Indonesia menjadi negara berkembang yang mampu mendatangkan investor asing dengan jangka waktu lama. Dan tentu bagaimana membuat Indonesia bisa menjadi basis manufaktur yang melayani global, katakanlah seperti posisi China sekarang.
Wisnu Wardana mengatakan masalah kurs sekarang ini lebih pada tekanan di sektor keuangan terkait kewajiban internasional. “Saya setuju dengan arah perbaikan untuk memperkuat struktur ekspor berbasis manufaktur serta turisme. Hal lain yang kami pikir akan semakin memperkuat adalah mendorong perusahaan terbesar Indonesia berekspansi ke luar negeri. Mumpung pertumbuhan di sedang terjadi di luar. Jasa perusahaan di luar negeri menjadi sumber dividen yang mengalir ke dalam negeri. Ini akan turut membantu penguatan struktur rupiah,” kata Wisnu.
Ini semua telah bertahun-tahun menjadi bahasan. Indonesia selalu antusias berbicara soal pentingnya perbaikan daya saing lewat perbaikan birokrasi, perbaikan infrastruktur dan kemudahan berbisnis di Indonesia. Dalam pertemuan regional dan internasional Indonesia selalu terlihat semangat secara verbal terkait semua itu.
Masalahnya menurut Anton J Supit, salah satu Ketua Apindo, “Isu ini tidak pernah dipikirkan secara matang dan tuntas. Akibatnya setiap kali ada gejolak eksternal maka Indonesia mudah terpukul karena posisi yang rentan,” kata Anton.
Jangan lupakan isu terpenting ini. Bagaimana membuat Indonesia menguasai total sumber daya alam domestiknya seperti minyak, gas, emas, dan mineral. Bukankah ini sumber devisa besar? (AP/AFP/REUTERS)