Andalkan Teknologi Baru Ubah DNA Tanaman, ”Startup” Saingi Perusahaaan Raksasa
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
Di sebuah laboratorium di pinggiran kota Minneapolis, Amerika Serikat, sebuah perusahaan kecil yang belum pernah menghasilkan laba mengaku siap mengalahkan perusahaan-perusahaan pertanian terbesar di dunia. Perusahaan rintisan (startup) itu memasarkan produk mereka yang dihasilkan lewat terobosan rekayasa genetika, yakni tanaman dengan DNA yang sudah diutak-atik atau ”disunting”.
Calyxt Inc, perusahaan berusia 8 tahun yang didirikan bersama profesor genetika, adalah nama perseroan tersebut. Perusahaan ini mengubah gen dari tanaman kedelai agar dapat menghasilkan minyak yang lebih sehat. Metode perubahan genetika yang diterapkan Calyxt lebih mutakhir dibandingkan modifikasi genetika konvensional.
Metode perubahan genetika yang diterapkan Calyxt lebih mutakhir dibandingkan modifikasi genetika konvensional.
Ada 78 petani yang sudah menanam kedelai itu pada musim semi tahun 2018 di lahan seluas 17.000 hektar di Negara Bagian South Dakota dan Minnesota. Tanaman yang diharapkan menjadi tanaman pertama hasil rekayasa untuk dijual secara komersial itu mengalahkan produk perusahaan-perusahaan yang masuk dalam Fortune 500.
Raksasa perusahaan pengembangan benih, seperti Monsanto, Syngenta AG, dan DowDuPont Inc, telah mendominasi teknologi tanaman rekayasa genetika yang muncul pada 1990-an. Namun, mereka kini menghadapi medan persaingan yang lebih keras karena kehadiran usaha rintisan dan pesaing kecil lainnya. Penyebabnya, tanaman yang gen-nya disunting perusahaan-perusahaan rintisan memiliki biaya pengembangan jauh lebih rendah. Situasi ini dimungkinkan antara lain karena Departemen Pertanian AS (USDA) memutuskan untuk tidak mengaturnya.
Kini perusahaan-perusahaan yang relatif tak dikenal dalam rekayasa tanaman pangan, seperti Calyxt, Cibus, dan Benson Hill Biosystems, telah mengembangkan proyek-proyek rekayasa DNA sendiri. Hal ini dilakukan dalam upaya melawan perusahaan-perusahaan besar di bidang rekayasa tanaman pangan.
”Saat ini merupakan waktu yang sangat menarik bagi perusahaan muda seperti itu,” kata CEO Calyxt Federico Tripodi, yang mempekerjakan 45 orang. ”Fakta bahwa perusahaan yang begitu kecil dan gesit dapat mencapai hal-hal yang besar telah membuat industri tersebut menjadi lebih menarik.”
Teknologi rekayasa DNA meliputi teknik menyasar gen tertentu dalam sebuah organisme (tanaman). Lewat teknologi ini, dilakukan perubahan gen yang terkait dengan karakteristik yang tidak diinginkan (kurang produktif, tidak tahan hama, dan sebagainya) serta mengubahnya menjadi sesuai yang diinginkan.
Sebaliknya, modifikasi genetik tradisional melibatkan transfer gen dari satu jenis organisme ke organisme lain. Proses ini masih belum diterima oleh konsumen secara luas.
Regulasi tidak jelas
Pendukung penyuntingan gen mengatakan, teknik itu memungkinkan tingkat presisi yang lebih tinggi daripada modifikasi tradisional. Dengan CRISPR, misalnya, salah satu jenis teknologi modifikasi gen yang populer digunakan oleh Syngenta, para ilmuwan mentransfer molekul RNA dan enzim ke dalam sel tanaman. Ketika RNA bertemu dengan untaian DNA yang ditargetkan di dalam sel, RNA mengikatnya dan enzim itu menciptakan ”masa istirahat” di sel DNA. Kemudian, sel memperbaiki DNA yang rusak itu.
Perusahaan bioteknologi kini berharap teknologi dapat menghindarkan mereka dari label ”Frankenfood”, yang dikritik para kritikus terhadap tanaman hasil rekayasa genetika tradisional. Namun, penerimaan oleh regulator dan publik secara global masih tidak pasti.
Pengadilan Uni Eropa memutuskan pada 25 Juli lalu bahwa teknik penyuntingan gen tunduk pada regulasi yang mengatur rekayasa genetika tradisional. Keputusan itu akan membatasi aktivitas penyuntingan gen di Eropa bagi penelitian dan membuatnya ilegal untuk diterapkan pada tanaman komersial. Asosiasi industri kimia Jerman menyebut keputusan pengadilan UE ”memusuhi kemajuan”.
Menteri Pertanian AS Sonny Perdue mengecam keputusan Pengadilan UE karena dinilai telah menerapkan hambatan tidak perlu terhadap inovasi. Eropa juga dinilai menimbulkan stigma buruk pada teknologi penyuntingan gen dengan menundukkannya pada peraturan UE yang ketinggalan zaman, yang mengatur metode rekayasa genetika tradisional. USDA saat ini juga tidak memiliki rencana untuk mengatur teknologi penyuntingan gen pada produk-produk hewani.
Eropa juga dinilai menimbulkan stigma buruk pada teknologi penyuntingan gen dengan menundukkannya pada peraturan UE yang ketinggalan zaman.
Di sisi lain, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) merencanakan untuk mengatur penyuntingan gen pada tumbuhan dan hewan. Hal itu disampaikan Komisaris FDA Scott Gottlieb dalam sebuah unggahan blog Juni lalu.
Badan ini mengembangkan pendekatan ”inovatif dan gesit” untuk mengatur pengeditan gen. Tujuannya, memastikan keamanannya bagi manusia dan hewan sehingga membantu perusahaan untuk menghasilkan produk yang benar-benar bermanfaat ke pasar. (REUTERS)