Gosip bertebaran di mana-mana. Pada masa pemilu, gosip mengenai para kandidat tersebar di banyak grup percakapan aplikasi pesan. Ada gosip mengapa kandidat A kuat perkasa menghadiri kampanye siang malam di banyak kota, hingga kasak-kusuk tentang apa yang dilakukan kandidat B agar mendapat dukungan koalisi partai politik.
Dalam kehidupan sehari-hari, gosip juga bertaburan. Saat para pegawai bertemu di kantin, pembicaraan mungkin lebih banyak membahas kenapa bos A lebih ramah kepada pegawai B ketimbang karyawan C. Di lingkungan tempat tinggal, kasak-kusuk pun kerap terjadi. Orang mungkin lebih suka membahas mengapa si A tidak mirip dengan ayahnya.
Namun, jangan meremehkan gosip. Menurut ilmuwan Universitas Ibrani Jerusalem, Yuval Noah Harari, ada teori mengenai terbentuknya bahasa yang menyebutkan bahwa bahasa manusia modern (Homo sapiens) memang berkembang sebagai cara untuk berbagi informasi tentang dunia (”Hei, ada beruang di hutan sana”). Namun, informasi terpenting yang disampaikan bahasa sebenarnya justru mengenai manusia itu sendiri, bukan tentang singa atau bison (Sapiens, Kepustakaan Populer Gramedia).
Pada 70.000 tahun lalu, menurut Harari, keterampilan linguistik baru atau bahasa yang lebih canggih telah membuat manusia mampu bergosip selama berjam-jam. Sudah tidak cukup lagi bagi individu untuk hanya mengetahui di mana ada singa. Jauh lebih penting ialah mengetahui siapa yang dibenci rekan sekawanan, siapa yang jujur, dan siapa yang pembohong. Dengan kata lain, lewat gosip, Homo sapiens menjalin dan membangun kerja sama sosial. Bergosip seperti ini tidak dapat dilakukan oleh jenis manusia lain yang telah punah, seperti Neanderthal, karena bahasa mereka tidak cukup canggih.
Selain membantu bergosip, ciri sangat khas sistem bahasa yang baru muncul 70.000 tahun lalu itu adalah kemampuannya menjelaskan hal-hal yang sama sekali tidak eksis. Hanya Homo sapiens, melalui bahasa, bisa membangun legenda serta mitos dewa-dewi. Banyak hewan dan spesies manusia sebelumnya bisa mengatakan, ”Hati-hati ada singa!” Namun, dengan bahasa barunya, Homo sapiens yang muncul di Afrika timur lebih kurang 150.000 tahun silam mampu bernarasi, ”Singa adalah arwah pelindung suku kita.” Kemampuan bernarasi semacam itu merupakan ciri pokok dari bahasa milik Homo sapiens.
Dengan kekuatan membangun narasi itulah bahasa membantu manusia untuk menuliskan sejarah-sejarah besar. Lewat narasi nasionalisme, misalnya, sekian juta rakyat suatu negara digerakkan hingga bersedia bekerja keras bersama-sama untuk membuat komponen tank, pesawat terbang, hingga hulu ledak nuklir. Berkat bahasa, narasi nasionalisme yang sangat abstrak dapat dipahami secara baik, dihayati, dan diyakini oleh penduduk sebuah negara.
Ahli linguistik Daniel Everett (Language: The Cultural Tool) menyatakan, bahasa adalah komponen penting manusia untuk mengingat, bahkan termasuk untuk ”mengingat” hal-hal yang sebenarnya tidak pernah diketahui oleh sekelompok manusia.
Sejarah menjadi bukti dari kekuatan bahasa. Dengan menuliskan riwayat-riwayat masa silam, atau mengingatnya secara saksama dan meneruskannya lewat lisan, masyarakat manusia membangun apa yang disebut sebagai ingatan kolektif sejarah mereka. ”Tidak ada spesies lain yang aktif melakukan hal ini. Tidak mungkin ada ingatan kolektif apa pun dari masyarakat manusia tanpa bahasa,” tulis Everett.
Secara individu, kemampuan manusia sekarang mungkin kalah dibandingkan dengan manusia primitif dalam membuat perkakas. Seorang Neanderthal di Eropa puluhan ribu tahun silam bisa jadi lebih piawai membuat api dari ranting dan dedaunan ketimbang manusia modern. Akan tetapi, secara kolektif, berkat bahasa, masyarakat manusia modern mampu membangun pesawat pengebom canggih yang terbang sangat tinggi, sedangkan masyarakat manusia primitif mungkin hanya bisa membangun perkampungan sementara yang bersahaja. Jadi, jangan heran, di mana-mana, di Indonesia atau di Perancis, orang senang bergosip dan panjang lebar membahas narasi.