Trump dan Spekulan Menyerang Lira
Mata uang Turki, lira, sedang mengalami serangan berat. Sepanjang 2018, kurs lira sudah merosot 86 persen. Efek kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan serangan spekulan telah menekan lira sepanjang 2018.
Sejak 10 Agustus, serangan semakin keras setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif impor 20 persen atas impor aluminium dan 50 persen atas impor baja asal Turki. Tarif untuk negara-negara lain yang dikenakan Trump adalah 10 persen dan 25 persen untuk komoditas serupa.
”Penyebab volatilitas mata uang Turki adalah unsur geopolitik dan perdagangan. Ini faktor penggebrak pasar yang datang bersamaan. Sungguh sebuah situasi yang sangat beracun,” kata Viraj Patel, ahli valuta asing dari ING, Senin (13/8/2018).
Ini sehubungan dengan pengumuman Trump soal tarif ekstra atas aluminium dan baja impor asal Turki. ”Saya telah memerintahkan penggandaan tarif pada impor aluminium dan baja asal Turki dengan respek pada mata uang mereka, lira, telah anjlok pesat terhadap dollar kita yang menguat. Hubungan kita dengan Turki saat ini sedang tidak baik,” demikian isi Twitter Trump pada 10 Agustus.
Trump sepertinya bahagia dengan tekanan pada lira Turki. Cuitan ini tidak didiamkan begitu saja. Banyak kalimat balasan bernada tak enak di Twitter Trump itu. Satu akun bernama @Mikkrop pada 12 Agustus membalas, ”Kamu bodoh tahu, kamu salah. Memerangi Turki adalah tindakan bodoh….”
Lepas dari itu, lira Turki memang anjlok semenjak cuitan Trump. Jika kurs lira pada 10 Agustus adalah 6,43 lira per dollar AS, tetapi pada 13 Agustus ditutup pada angka 6,93, bahkan sempat menembus angka 7,4 lira per dollar AS. Pada tahun 2014, kurs lira 2,33 per dollar AS.
Pasar panik dan sejumlah kurs mata uang negara berkembang pun berjatuhan walau tidak separah lira. ”Ini sebuah serangan spekulatif serius. Saya tidak bisa menjelaskannya mengingat fundamental ekonomi,” kata pimpinan umum Isbank, Adnan Bali, merujuk pada fondasi ekonomi yang relatif baik.
Menyerang sekutu NATO
Tindakan Trump bisa diduga merupakan dendam pribadi pada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Hal terbaru pemicu permusuhan adalah pemenjaraan pendeta AS, Andrew Brunson, dengan tuduhan mendukung percobaan kudeta pada 2016. Brunson membantah hal itu.
Wakil Presiden AS Mike Pence sudah berkali-kali ditugaskan untuk pembebasan Brunson, tetapi tidak didengar. Namun, setelah 20 bulan di penjara, Turki mengubah status Brunson menjadi tahanan rumah pada Juli lalu.
Selain isu ini, Turki dan AS di samping sama-sama anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga memiliki banyak persoalan. Dr Taha Ozhan, Ketua Komite Urusan Internasional Parlemen Turki dan penasihat Perdana Menteri Turki, pada 13 Agustus di situs Middle East Eye French menuliskan artikel berjudul ”What’s Really Behind the Turkey-US Dispute?”
Menambah runyam hubungan adalah ambisi Turki membeli persenjataan dari Rusia.
Ozhan menuliskan, apa pun sepak terjang internasional Turki dalam kaitannya dengan Suriah, Kurdi, dan Iran kini menjadi masalah dengan Trump. Namun, hal serupa tidak menjadi persoalan di bawah presiden AS sebelumnya, Barack Obama.
Fakta lain adalah keberadaan Fethullah Gulen, oposisi Turki yang berjuang dari AS untuk kebebasan politik di Turki. Menambah runyam hubungan adalah ambisi Turki membeli persenjataan dari Rusia.
Hal lain adalah ekspor aluminium dan baja Turki ke AS sebesar 2,1 juta metrik ton pada awal 2018. Turki adalah eksportir baja terbesar keenam ke AS. Turki membalas pengenaan tarif itu dengan mengenakan tarif tambahan atas impor asal AS. Semua faktor ini, termasuk unsur geopolitik, membuat Presiden Erdogan menyimpulkan bahwa Turki menghadapi serangan dalam bentuk perang ekonomi.
Eropa marahi Trump
Namun, ulah Trump dengan menggandakan tarif aluminium dan baja asal Turki sangat tidak tepat. Di tengah gejolak mata uang yang sedang menimpa negara-negara berkembang, Trump menambah runyam persoalan ekonomi global.
Beberapa para pejabat Eropa berang dengan tindakan Trump. Seperti diberitakan pada 12 Agustus di harian Hurriyet Daily News, Menteri Perekonomian Jerman Peter Altmaier mengecam tindakan Trump. ”Sebagaimana kita saksikan di masa lalu konsumen akan terpukul lewat perang dagang,” demikian Altmaier pada Bild am Sonntag, yang dikutip harian Turki tersebut.
Menteri Luar Negeri Italia Enzo Moavero kepada Daily Il Foglio (sebuah harian Italia) menegaskan bahwa Turki berperan sebagai kekuatan penyeimbang di Mediterania. ”Kita harus dukung Turki,” kata Moavero.
Altmaier menyatakan kejengkelan kepada Trump, yang juga mengganggu bisnis Eropa di kawasan Timur Tengah dan Turki. Ada banyak bisnis perbankan Eropa di Turki. Dengan kisruh ekonomi Turki, otomatis jalinan bisnis Eropa-Turki juga pasti terganggu.
”Kami tidak akan membiarkan Washington mendikte dengan siapa kami berbisnis,” kata Altmaier.
Menakutkan efek domino
Lepas dari itu semua, kini negara-negara berkembang berharap krisis lira tidak berlarut-larut dan tidak mengimbas ke sejumlah negara berkembang lainnya. Sejarah menunjukkan krisis mata uang di salah satu negara hampir selalu mengimbas ke negara-negara lain.
Untungnya beberapa analis menilai risiko efek domino lira Turki tidak akan menyebar. ”Dalam jangka pendek kita tidak melihat efek lanjutan ke negara-negara berkembang,” kata Stuart Culverhouse, peneliti di Exotix Capital, berbasis di London.
”Turki berada di jalur yang berbeda dengan negara-negara berkembang lainnya. Saya tidak melihat risiko sistemik,” kata Culverhouse. Tidak semua negara berkembang frontal bermusuhan dengan AS, sebagai contoh.
Hal serupa juga dinyatakan analis lain. Ekonom dari Deloitte, Xu Sitao, mengatakan, Turki ada di urutan ke-17 di dunia dalam ukuran produk domestik bruto (PDB). Turki tidak terlalu terintegrasi dengan dunia dalam skala besar seperti AS dan China. ”Saya prihatin tetapi tidak panik,” kata Sitao.
Secara fundamental, ekonomi Turki juga tidak terlalu buruk dibandingkan dengan Yunani misalnya. Rasio utang luar negeri Turki terhadap PDB ada di bawah 60 persen, berdasarkan data Dana Moneter Internasional (IMF).
Utang di bawah 60 persen dan jauh di bawah rata-rata Uni Eropa yang hampir 200 persen menunjukkan posisi utang Turki tidak terlalu parah. PDB Turki pada kuartal pertama sebesar 851 miliar dollar AS dan utang luar negeri sebesar 467 miliar dollar AS.
Rasio serupa untuk negara-negara berkembang lain, termasuk Indonesia, masih jauh lebih rendah. Angka inflasi di Turki memang memasuki potensi inflasi spiral karena ada di kisaran 10 persen tetapi belum separah Argentina yang di atas 20 persen.
Seruan Erdogan
Turki dikenal dengan tingkat nasionalisme yang tinggi. Negara ini sudah lama terbiasa dengan tekanan AS. Bertahun-tahun Turki hidup dalam tekanan ekonomi, tetapi tetap bertahan dan kini memasuki jajaran negara-negara berkembang yang sedang tumbuh tinggi, di atas 5 persen.
Erdogan pun sudah menyatakan negara tidak akan gentar dengan tekanan. Namun, dia menyerukan warga domestik untuk menjual dollar AS dan euro dan memegang lira.
Dalam pidatonya di kota Trabzon, Minggu (12/8/2018), Erdogan meminta solidaritas warga terhadap Lira.
”Jangan menyerbu bank dengan membeli mata uang asing. Anda akan berbuat salah jika melakukan itu demi keamanan pribadi. Anda harus tahu bahwa ini tanggung jawab kita bersama, industrialis, perdagang untuk membuat negara ini bertahan di atas kaki sendiri. Jika tidak, kita terpaksa mengimplementasikan rencana B dan C,” kata Erdogan.
Meski demikian, dalam hal terburuk menimpa, bisa dipastikan IMF akan siap memberikan dana talangan. Namun, hal ini, seperti seruan Erdogan, tidak lagi membuat negara mandiri untuk sementara waktu. (AFP/AP/REUTERS)