Dari lapangan olahraga, banyak hal dapat dipelajari. Pebulu tangkis Anthony Ginting, yang oleh kantor berita AFP dijuluki sebagai ”Pembunuh Raksasa” itu, tidak meraih kesuksesannya dengan mudah.
Dalam perhelatan olahraga akbar negara-negara Asia, Asian Games Ke-18 di Jakarta, Ginting sempat terpuruk karena cedera otot. Saat bertarung melawan Shi Yuqi dalam nomor beregu yang mempertemukan tim Indonesia dan China, di ujung set ketiga, Ginting terpaksa mengakhiri pertandingan karena tak lagi mampu menahan rasa sakit.
Pertarungan panjang—tiga set—dalam pertandingan sebelumnya ditengarai menguras tenaga Ginting. Namun, anak muda itu tak terlalu lama tunduk pada kekalahan. Dalam proses pemulihan, Ginting menata lagi dirinya. Saat menghadapi juara dunia bulu tangkis 2018, Kento Momota, pada babak ketiga perseorangan, Ginting mencoba lebih tenang dan sabar (Kompas.id, Minggu 26 Agustus 2018).
Pada saat yang sama, ia pun tampil lebih gigih dan percaya diri. Hasilnya, ia memenangi pertarungan itu dalam dua set langsung, 21-18, 21-18. Ginting juga berhasil memenangi pertarungan melawan juara Olimpiade asal China, Chen Long, di perempat final Asian Games, 21-19, 21-11.
Kisah Ginting adalah satu dari banyak kisah tentang para atlet yang berjuang dalam setiap pertandingan. Kalah atau menang adalah bagian dari upaya keras yang dibangun sejak awal di pusat-pusat pelatihan. Mereka, Ginting serta atlet-atlet lain, termasuk Momota, Shu Yuqi, dan Chen Long, mampu memproyeksikan potensi, kemampuan, motivasi, mental, serta usaha keras mereka untuk menjadi pemenang.
Dalam dinamika hubungan internasional, kemampuan untuk memproyeksikan kapasitas dan modal nasional yang dimiliki sebuah bangsa juga menjadi kunci bagaimana sebuah negara berperan dan diperhitungkan. Di dunia, publik bisa merujuk pada negara seperti Singapura sebagai contoh.
Dengan jumlah penduduk sekitar 5,5 juta jiwa, Singapura mampu memproyeksikan pembangunan ekonomi, teknologi, hingga keuangan mereka menjadi salah satu raksasa Asia. Dalam laporan Global Innovation Index yang diolah oleh Universitas Cornell AS, INSEAD, dan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia tahun 2016 disebutkan, Singapura menduduki posisi ke-6 dengan skor 59,16. Indonesia, yang dihuni oleh lebih dari 250 juta penduduk serta memiliki wilayah dan kekayaan alam yang jauh lebih besar daripada Singapura, menduduki peringkat ke-88 dengan skor 29,07.
Demikian pula dalam indeks kompetitif global, Indonesia tertinggal dari Singapura. Data yang diolah Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri RI—bersumber dari Global Competitiveness Report 2016-2017, Klaus Schwab, dan World Economic Forum—menunjukkan Singapura berada di posisi kedua dengan skor 5,68, sementara Indonesia berada di posisi ke-37 dengan skor 4,52.
Dalam buku bertajuk Learning from the Past and Charting the Future yang digarap oleh BPPK Kementerian Luar Negeri disebutkan, sebuah negara bisa saja memiliki keuntungan kompetitif karena mempunyai sumber daya alam dan produk-produk yang tidak dimiliki oleh negara lain, misalnya minyak kelapa sawit mentah (CPO), rotan, karet mentah, dan minyak bumi. Akan tetapi, produk-produk tersebut akan memiliki nilai kompetitif lebih tinggi jika negara atau pemerintah memberi nilai tambah lewat sejumlah inovasi atas produk mentah itu. Misalnya, mengolah CPO menjadi biodiesel, atau rotan menjadi kursi atau meja.
Meskipun konsep pemberian nilai tambah itu telah diketahui sejak lama, tidak setiap pemerintahan mampu mengaplikasikannya dengan mudah. Data di atas menunjukkan bagaimana Indonesia harus lebih banyak berupaya untuk meningkatkan daya saing dan inovasi.
Sebagaimana merujuk pada upaya Ginting dan atlet-atlet lainnya, dibutuhkan sikap mental, kegigihan, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk mengonsolidasikan kapasitas diri guna mencapai kemenangan. Tanpa itu semua, sulit mencapai target yang telah dicanangkan.