Beredarnya berita sejak pekan lalu tentang pembatalan penawaran saham perdana (IPO) Aramco cukup mengejutkan banyak pihak. Seperti dilansir harian Al Quds Al Arabi, Selasa (28/8/2018), adalah Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud yang berada di balik keputusan pembatalan IPO perusahaan minyak terbesar di dunia itu.
Semula ide IPO Aramco itu dicetuskan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) pada April 2016 seiring dengan digulirkannya visi Arab Saudi 2030.
Misi IPO Aramco untuk mendapat dana hingga 2 triliun dollar AS—terbesar dalam sejarah IPO perusahaan—adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Arab Saudi terhadap minyak sesuai dengan visi 2030 itu.
Raja Salman kemudian memutuskan membatalkan IPO Aramco itu setelah mendapat saran dan nasihat dari sejumlah keluarga Al-Saud yang berkuasa di Arab Saudi, para bankir, dan direktur senior di sektor perminyakan serta beberapa mantan CEO Aramco, Juni lalu. Mereka menyarankan Raja Salman agar membatalkan rencana IPO Aramco.
Mereka menyampaikan kepada Raja Salman bahwa IPO Aramco tidak akan menguntungkan Arab Saudi, karena jika melakukan IPO, Aramco harus membuka kondisi keuangannya secara detail kepada para investor dan bursa saham.
Mereka juga menyampaikan kepada Raja Salman, masih sangat diragukan IPO Aramco bisa meraih dana sampai 2 triliun dollar AS seperti yang diinginkan MBS. Apalagi saat ini harga minyak dunia dihantui ketidakpastian akibat situasi geopolitik yang cenderung memanas.
Dominasi
Dalam struktur kekuasaan di Arab Saudi, sang raja adalah pemegang keputusan final. Namun, Raja Salman memberikan kekuasaan cukup besar kepada MBS sejak putranya itu menjabat menteri pertahanan dan deputi putra mahkota pada 2015.
Kekuasaan MBS semakin tak terbatas sejak ia memangku jabatan putra mahkota pada Juni 2017 setelah berhasil mendepak saudara sepupunya dari jabatan putra mahkota, Pangeran Mohammed bin Nayef al-Saud. MBS pun disebut sebagai raja de facto di Arab Saudi.
Kekuasaan besar yang dimiliki MBS itu mulai mengundang kritik dari dalam keluarga besar Al-Saud sendiri maupun regional dan internasional.
Di antara kritik dari keluarga besar Al-Saud adalah rencana IPO Aramco dan aksi penangkapan terhadap puluhan pangeran dengan tuduhan korupsi pada November 2017.
Adapun kritik dari komunitas internasional adalah perang Yaman. Selain membuat puluhan ribu orang tewas, perang tersebut memperburuk kondisi kemanusiaan di negara itu. Sejumlah aktivis hak asasi manusia di Arab Saudi ditangkap sebagai imbas dari perang di Yaman.
Seperti diketahui, Arab Saudi memimpin koalisi Arab menyerang milisi Al Houthi pro-Iran di Yaman pada Maret 2015. Terkait penangkapan para aktivis HAM, Arab Saudi kini terlibat ketegangan diplomatik dengan Kanada yang mengkritik keras aksi penangkapan itu.
Mitra regional, khususnya negara-negara Arab, juga melempar kritik. MBS dianggap menerima proyek perdamaian Israel-Palestina besutan pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang dikenal dengan nama ”Transaksi Abad Ini”. Proyek itu disebut banyak merugikan Palestina sehingga ditolak keras oleh Palestina dan dunia Arab.
Raja Salman akhirnya banyak mengambil alih lagi kekuasaan yang diberikan kepada putranya, MBS, setelah mendapat banyak kritik tersebut.
Ambil alih
Keputusan Raja Salman membatalkan IPO Aramco adalah bentuk aksi ambil alih kekuasaan terkait ekonomi strategis MBS. Harian Israel, Haaretz, Selasa lalu melansir, rencana IPO Aramco menimbulkan kecemasan dan perpecahan di kalangan keluarga besar Al-Saud. Raja Salman pun akhirnya membatalkan rencana itu untuk meredam perpecahan tersebut sekaligus menyelamatkan MBS.
Sebelumnya pada 30 Juli lalu, Raja Salman menyampaikan kepada mitranya dari sejumlah negara Arab bahwa Arab Saudi tidak akan mendukung proyek perdamaian, Transaksi Abad Ini, tanpa menyinggung status kota Jerusalem dan hak-hak pengungsi Palestina.
Penegasan Raja Salman tentang dukungan terhadap Palestina itu juga sebagai bentuk ambil alih kekuasaan dari MBS terkait dengan isu Palestina. Selama ini sempat berkembang opini di dunia Arab bahwa MBS mendukung Transaksi Abad Ini.