Terjerat Utang China
Sejumlah negara di Afrika dan Asia yang memperoleh pinjaman dana dari China melalui kerja sama proyek dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan mulai kesulitan untuk membayar utang yang besar.
BEIJING, MINGGU Megaproyek infrastruktur China, Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), terus berjalan cepat. Namun, sejumlah negara kini mengalami kesulitan dalam pembayaran utang.
Prakarsa yang pertama kali diumumkan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013 itu merupakan kerja sama bisnis dalam bentuk pinjaman, bukan bantuan. Melalui prakarsa ini, China berambisi untuk menjembatani Asia dan Eropa dengan proyek-proyek infrastruktur yang masif, seperti pembuatan jalan-jalan raya, pelabuhan, dan jaringan rel kereta api.
Namun, setelah lima tahun berlalu, sejumlah negara kini mulai mempertanyakan apakah kerja sama itu memberikan manfaat besar bagi negara mereka.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad ketika berkunjung ke Beijing bulan lalu menyebutkan, Malaysia akan mengurangi tiga proyek terkait BRI, di antaranya pembangunan rel kereta api senilai 20 miliar dollar AS. Alasannya, Malaysia tidak mampu membiayainya.
PM Pakistan yang baru terpilih, Imran Khan, juga mengeluarkan pendapat serupa. Ia akan meninjau ulang perjanjian kerja sama China-Pakistan karena khawatir Pakistan tidak mampu membayar pinjaman dari China.
Tahun lalu, Sri Lanka menjaminkan pelabuhannya kepada Beijing selama 99 tahun karena tidak mampu membayar pinjaman proyek senilai 1,4 miliar dollar AS.
Pimpinan oposisi Maladewa, Mohammad Nasheed, menyatakan, langkah yang dilakukan China di kepulauan Samudra Hindia itu telah berujung pada ”pengambilalihan lahan” dan ”kolonialisme”. Menurut dia, 80 persen utang Maladewa merupakan pinjaman dari China.
Sejumlah negara lain yang juga tidak mampu membayar utangnya dalam kerja sama proyek infrastruktur adalah Djibouti, Mongolia, Laos, Montenegro, Tajikistan, dan Kirgistan.
Negara Afrika lainnya, Etiopia, dan Zimbabwe merupakan peminjam utang yang besar dari China. Kedua negara ini berupaya untuk merestrukturisasi utangnya. Angola dan Republik Kongo juga diyakini sudah melakukan langkah serupa.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde menyatakan kekhawatiran terkait potensi utang pada April lalu dan mendorong negara-negara terkait untuk lebih transparan. ”Ini bukan makan siang gratis. Setiap pihak harus ikut menyumbang,” kata Lagarde.
China bantah
Juru bicara Deplu China, Hua Chunying, akhir pekan lalu membantah tuduhan bahwa Beijing telah membebani mitra kerjanya dengan utang masif. Menurut Hua, pinjaman yang diberikan kepada Sri Lanka dan Pakistan hanyalah bagian kecil dari seluruh utang luar negeri negara bersangkutan.
”Sangat tidak masuk akal mengapa pinjaman uang dari negara-negara Barat selalu dinilai baik dan manis, sementara pinjaman yang datang dari Beijing dilihat dengan sinis dan dianggap sebagai jebakan,” kata Hua.
Wakil Menteri Perencanaan China Ning Jizhe juga menyebutkan bahwa prakarsa Presiden Xi adalah membangun aset-aset yang memang dibutuhkan oleh negara-negara berkembang.
”Mata pencarian rakyat dan perkembangan ekonomi telah terangkat (dengan kerja sama ini). Tak ada jebakan penciptaan utang,” kata Ning.
Sejumlah negara, khususnya AS, India, dan Jepang, merasa terancam dengan proyek ini karena berpotensi mengurangi pengaruh mereka di kawasan.
”China tidak memiliki birokrasi internasional yang kompeten dalam bantuan luar negeri. Jadi tidak mengejutkan jika mereka dinilai tidak baik dan berujung pada isu politik. Apa yang terjadi pada Malaysia (yang menangguhkan kerja sama) tidak diantisipasi,” kata Anne Stevenson-Yang dari J Capital Research kepada AFP.
Namun, sejumlah negara yang meski terlilit utang besar pada China tetap menganggap bahwa apa yang ditawarkan China lebih baik dibandingkan persyaratan dari bank-bank sejumlah negara Barat, termasuk dalam masalah ”kedermawanan” China.
Misalnya untuk membangun terminal kontainer, Djibouti meminjam 268 juta dollar AS dari tujuh bank dengan 9 persen bunga selama sembilan tahun. Sementara China meminjamkan 620 juta dollar AS selama 20 tahun dengan bunga 2,85 persen dan masa tenggang tujuh tahun. ”Terus mana investasi dari Amerika atau Eropa?” kata Aboubakar Omar Hadi, Ketua Pelabuhan Djibouti.
(AP/AFP/REUTERS/MYR)