Seperti halnya negara-negara Barat, Pemerintah China sangat strategis dalam membagi-bagikan pinjaman dan bantuan. Kelompok riset AidData adalah salah satu yang menerbitkan hasil studi tentang efek berbagai jenis bantuan China. Sebagaimana dikutip lembaga think tank OCP Center pada Agustus 2018, ditemukan data bahwa antara tahun 2000 dan 2014, China memberi atau meminjamkan sekitar 350 miliar dollar AS.
Jumlah itu masih di bawah bantuan total yang diberikan Amerika Serikat yang mencapai 424 miliar dollar AS. Disebutkan bahwa seluruh bantuan AS dalam bentuk hibah. Sementara bantuan China dalam bentuk hibah hanya seperlimanya dan sisanya dalam bentuk pinjaman lunak di bawah suku bunga pasar. Berbeda dengan bantuan hibah yang tidak diperlu dikembalikan, pinjaman lunak harus dikembalikan dengan bunga.
Penelitian AidData menunjukkan, penggandaan jumlah bantuan hibah China mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) negara-negara penerimanya, yang diperkirakan mencapai 0,4 persen selama dua tahun. Studi lain memperlihatkan bahwa peningkatan bantuan China sebanyak 10 persen dapat mendongkrak 0,6-1,1 persen PDB negara penerima bantuan.
Memindai 4.300 proyek yang didanai China di 140 negara, AidData menemukan fakta bahwa negara-negara Afrika menerima setidaknya 59 persen dari total bantuan proyek itu pada periode 2010-2012. Secara global, 7 dari 10 penerima teratas bantuan pengembangan resmi China (ODA) antara tahun 2000 dan 2014 berada di Afrika. Mereka antara lain Pantai Gading, Etiopia, Zimbabwe, Kamerun, Nigeria, dan Tanzania.
Bantuan China dinilai mampu merangsang pertumbuhan di negara-negara penerima itu. Bantuan aneka proyek China menghasilkan peningkatan 0,1 hingga 1,1 persentase poin dalam pertumbuhan ekonomi dua tahun setelah persetujuan bantuan disepakati.
Namun, tim peneliti juga mencatat bahwa China tidak semata-mata menggunakan pengaruhnya dalam hal pemberian bantuan itu di Benua Afrika. Megaproyek Beijing—bernilai lebih dari 1 miliar dollar AS—lebih mungkin diarahkan untuk pembangunan aneka megaproyek di Asia Tenggara, negara- negara bekas Uni Soviet, dan Amerika Latin. Afrika Selatan adalah satu-satunya negara Afrika yang berada di antara 20 penerima teratas megaproyek ini.
Tantang kesinambungan
Menarik untuk dicermati dan ditunggu, apakah China dengan kekuatan ekonominya mampu melanjutkan misi dan strategi mereka, termasuk melalui pemberian bantuan dan atau utang ke negara-negara lain secara global. Aneka tantangan menghadang Beijing di tengah dinamika global saat ini.
Sejumlah lembaga mencermati langkah adaptasi sekaligus strategi China. Aktivitas ekonomi di China tetap tangguh dengan PDB tumbuh sebesar 6,9 persen pada tahun 2017 dan 6,8 persen secara tahunan (yoy) pada triwulan I-2018. Konsumsi terus mendorong pertumbuhan, sementara ekspor neto, yang memimpin percepatan pertumbuhan pada 2017, bukan merupakan sumber pertumbuhan lagi.
Dari perspektif produksi, menurut Bank Dunia, sektor-sektor ekonomi baru menjadi sumber pertumbuhan yang lebih menonjol. Meskipun pangsa mereka masih relatif kecil terhadap PDB, perangkat lunak dan layanan teknologi informasi (TI) meningkat pada tingkat dua digit dan menyumbang 1,1 poin persentasepada triwulan I-2018.
Data juga menunjukkan bahwa meski China berada dalam jalur jangka panjang akumulasi modal yang lebih lambat, pertumbuhan investasi telah pulih dari level terendahnya pada tahun 2017, khususnya di sektor swasta. Dalam dekade sebelum 2011, investasi riil China naik hingga sebesar 18 persen per tahun, sedangkan pada 2017 tumbuhnya hanya 5,5 persen.
Secara struktural, penyebab perlambatan tersebut adalah bagian dari upaya perimbangan China dari investasi menuju konsumsi. Upaya mengurangi kelebihan kapasitas industri dan menurunkan risiko keuangan juga memengaruhi keputusan investasi pasar. Namun, tingkat pertumbuhan investasi masih tinggi menurut standar internasional. Hal itu bukti bahwa efisiensi alokasi—bukan kecepatan pertumbuhan—adalah tantangan investasi utama bagi China.
Risiko utama terhadap prospek dan sepak terjang China ke depan adalah utang perusahaan swasta yang tinggi dan meningkatnya ketegangan atau konflik perdagangan, terutama dengan AS. Beijing terus berupaya mengelola dampak ekonomi dari dinamika konflik dengan AS. Namun, biaya investasi yang terbatas, terutama akibat kondisi terhadap terbatasnya akses pada teknologi dan keterampilan sektor itu, bisa menjadi signifikan.
Sebagaimana diingatkan para analis dan pelaku usaha global, sistem rantai pasokan yang terganggu dan dinamika peraturan perdagangan global yang melemah akan berbahaya secara global pula. Jika berlanjut, hal itu bisa berdampak pada sejumlah negara, termasuk mungkin saja China. Adaptasi atas hal itu akan menentukan strategi negeri tersebut.