Rouhani dan Putin Tolak Seruan Erdogan untuk Hentikan Serangan ke Idlib
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Presiden Iran Hassan Rouhani, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) trilateral di Teheran, Iran, Jumat (7/9/2018). Ketiganya membahas opsi-opsi untuk menentukan masa depan Idlib di barat laut wilayah Suriah.
KTT menghasilkan kesepakatan untuk memerangi teroris di Idlib melalui koordinasi antara Rusia, Iran, dan Turki. Pertemuan itu tidak menyetujui usulan gencatan senjata, seperti yang diminta Erdogan. Putin setuju bahwa gencatan senjata atau tiadanya serangan hanya terhadap oposisi moderat. KTT menegaskan pemisahan antara warga sipil dan teroris serta antara teroris dan oposisi moderat.
KTT tidak menegaskan akan ada serangan militer besar ke Idlib. Serangan militer hanya bersifat terbatas. Tidak ada aksi bumi hangus di Idlib. Untuk mencari solusi di Idlib, ketiga negara menjalin kerja sama intelijen.
Rusia, Turki, dan Iran selama ini dikenal anggota forum Astana. Forum yang digagas Rusia guna mencari solusi krisis Suriah itu mulai digelar di Astana, Kazakhstan, Januari 2017. Forum ini dimaksudkan sebagai alternatif dari forum Geneva yang dianggap terlalu didominasi Barat, khususnya Amerika Serikat (AS).
Salah satu prestasi utama forum Astana adalah keberhasilan mencapai kesepakatan wilayah deeskalasi pada pertengahan tahun 2017 di beberapa wilayah yang dikontrol oposisi bersenjata, seperti Ghouta Timur, Provinsi Deraa; dan Provinsi Idlib.
Namun, sesungguhnya forum Astana sudah terkubur setelah Rusia, Iran, dan Suriah mengakhiri kesepakatan deeskalasi itu dengan memilih opsi militer untuk menguasai lagi Ghouta timur, Maret dan April 2018, serta Provinsi Deraa, Juni-Juli 2018. Kini, ketiga negara itu juga bertekad memilih opsi militer untuk menguasai kembali Provinsi Idlib.
Namun, Idlib berbeda jauh dari Ghouta timur dan Provinsi Deraa. Idlib tidak hanya dikenal sebagai basis pertahanan terakhir dan terkuat milisi oposisi bersenjata, tetapi juga menjadi basis pengaruh politik Turki karena letak geografisnya berbatasan langsung dengan Turki, persisnya dengan Provinsi Hatay.
Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden Rusia Vladimir tak mendukung seruan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan agar digelar gencatan senjata dan penghentian serangan ke Idlib.
Perbedaan pandangan
Turki sejak awal menolak opsi militer Rusia, Iran, dan Suriah di Idlib. Hal itu isyarat Ankara bahwa apapun opsi yang dipilih di Idlib, militer maupun politik, harus koordinasi dengan Ankara. Dalam KTT di Teheran, Jumat, Erdogan menyerukan gencatan senjata dan penghentian serangan udara ke Idlib.
"Kami tidak pernah ingin Idlib menjadi arena pertumpahan darah," katanya. "Serangan apa pun yang telah atau akan dilancarkan ke Idlib bakal menghasilkan petaka, pembunuhan, dan tragedi kemanusiaan yang sangat besar."
Namun, seruan Erdogan tidak didukung Rouhani dan Putin. "Memerangi terorisme di Idlib adalah bagian yang tak bisa dihindari dalam misi memulihkan perdamaian dan stabilitas di Rusia," ujar Rouhani.
"Pemerintah Suriah yang sah memiliki hak dan akhirnya harus mengontrol keseluruhan teritorial nasionalnya," kata Putin.
Tiga skenario
Hasil KTT trilateral di Teheran tak akan lepas dari tiga skenario terkait masa depan Idlib. Pertama, skenario ideal, yakni solusi kompromi di Idlib. Harian Al Hayat hari Kamis (6/9/2018) telah melansir draf solusi kompromi yang dicapai dalam perundingan pejabat militer Rusia dan Turki dalam lima hari terakhir ini.
Solusi kompromi itu terdiri dari tujuh butir, di antaranya yang terpenting, Damaskus diizinkan menguasai lagi Idlib secara sipil, namun keamanan tetap dikontrol milisi oposisi di bawah pengawasan Turki dan Rusia. Operasi militer secara terbatas akan tetap dilakukan untuk membasmi milisi radikal, khususnya Hayat Tahrir al-Sham, dengan koordinasi Rusia-Turki.
Skenario kedua, membagi Provinsi Idlib. Kota Idlib hingga Idlib bagian utara dan barat laut yang berbatasan dengan Turki tetap dikontrol oposisi dengan pengawasan Ankara. Idlib bagian barat, termasuk kota Jisr ash-Shugur, dan Idlib selatan dikontrol Rusia dan pemerintah Suriah.
Skenario ketiga atau yang terburuk, yakni Rusia, Iran, dan Suriah memilih opsi militer dengan mengabaikan Turki untuk merebut kembali Idlib, seperti yang dilakukan di Ghouta timur dan Provinsi Deraa.
Rusia, Iran, dan Suriah dengan keunggulan militer atas milisi oposisi, bisa saja merebut kembali Idlib. Namun, hal itu tidak akan mengakhiri perang di Suriah. Milisi oposisi akan melancarkan serangan balik dengan cara perang gerilya yang bertolak dari wilayah Turki atas posisi Rusia, Iran, dan Suriah di Idlib.
Turki akan menjadi halaman belakang milisi oposisi untuk melancarkan serangan balik atas wilayah Suriah. Peran Turki ini persis seperti peran Pakistan yang menjadi halaman belakang Mujahidin Afghanistan pada perang lawan pasukan Uni Soviet di Afghanistan tahun 1980-an.