Iwao Hakamada Puluhan Tahun Menunggu Eksekusi Mati
Oleh
·3 menit baca
Iwao Hakamada beberapa tahun terakhir bisa menikmati hidup layaknya orang biasa setelah Pengadilan Distrik Shizuoka pada 2014 ”membebaskan” dirinya dari penjara dan meminta persidangan ulang. Namun, pada Juni lalu, hasil persidangan ulang membuat nasib Hakamada kembali berbalik.
Pengadilan Tinggi Tokyo membatalkan putusan Pengadilan Distrik Shizuoka. Artinya, kebebasan yang sudah didapatkannya sewaktu-waktu dapat diambil kembali. Bahkan, pria yang kini berusia 82 tahun ini bisa dieksekusi. Di Jepang, hukuman mati dilaksanakan dengan digantung.
”Sangat disesalkan... kami akan mengambil langkah berikutnya,” kata Hideko, kakak terdakwa, kepada pers sesaat setelah putusan diberikan. Perempuan yang kini berusia 85 tahun itu tanpa lelah terus membela adiknya yang diyakininya tak bersalah. Meski ada putusan terbaru yang membuat adiknya bisa dieksekusi sewaktu-waktu, Hideko tetap berharap Hakamada terus dibiarkan menghirup udara bebas.
Harapan itu tampaknya dikabulkan. Sampai kini lelaki tua mantan petinju tersebut sering menghabiskan waktu berjalan- jalan di Hamamatsu, tenggara Tokyo. Dia sekarang masih senang membicarakan tinju.
Nobuhiro Terazawa, seorang pendukungnya, mengatakan, membangun angan-angan merupakan cara Hakamada untuk mengatasi rasa takut bahwa dirinya bisa dieksekusi sewaktu-waktu. ”Tidak seperti sebelumnya, dia sekarang sudah bisa berjalan-jalan dengan bebas. Namun, secara mental, dirinya tetap belum bisa bebas dari ketakutan dieksekusi dan tuduhan keliru,” ujarnya, Jumat (7/9/2018).
Hakamada diyakini merupakan penghuni penjara yang paling lama menunggu pelaksanaan hukuman mati. Kasusnya mengundang perhatian dunia internasional.
Hakamada menghabiskan 48 tahun di dalam penjara di Tokyo. Ia terjerat kasus perampokan dan pembunuhan yang menewaskan bosnya serta istri dan dua anaknya pada 1966. Dalam peristiwa sadis ini, rumah korban juga dibakar.
Proses peradilan berjalan panjang, sejak tahun 1968 sampai kemudian Mahkamah Agung pada 1980 menjatuhkan vonis hukuman mati. Nasibnya berubah dengan putusan Pengadilan Distrik Shizuoka, Maret 2014, yang meminta kasus pembunuhan yang sudah berlalu lebih dari 48 tahun tersebut dibuka kembali.
Sambil menunggu proses tersebut, pengadilan distrik meminta penundaan pelaksanaan hukuman mati. Tak hanya itu, pengadilan juga melepaskan Hakamada dari jeruji penjara.
Mencabut pengakuan
Saat ditangkap tahun 1966, mulanya Hakamada menyangkal tuduhan yang ditimpakan kepadanya. Namun, Hakamada akhirnya mengaku melakukan kejahatan.
Belakangan, pengakuan itu dicabutnya dengan alasan dia disiksa saat proses penyidikan di kepolisian. Penyiksaan antara lain dalam bentuk pemukulan.
Jaksa dan pengadilan menggunakan bukti percikan darah di pakaian yang dikenakan Hakamada. Hal yang menjadi keberatan Hakamada, bukti itu baru ditemukan setahun setelah peristiwa pembunuhan dan penangkapan dirinya. Para pendukung Hakamada mengatakan, pakaian yang dipakai sebagai barang bukti bahkan tidak pas dengan Hakamada.
Pengacara dan pendukung Hakamada lalu menyodorkan bukti tes DNA untuk menunjukkan ketidakcocokkan antara terdakwa, pakaian, dan percikan darah. Namun, persidangan ulang menyatakan, metode analisis DNA tidak lazim dan ada ”keraguan serius” tentang hal ini.
Maka, nasib Hakamada seperti berulang alik. Tak banyak lagi yang bisa dilakukannya. Hideko kini hanya berupaya membuat adiknya bisa lebih santai menghabiskan sisa hidup, antara lain dengan memberi makanan yang enak dan sehat. (AFP/RET)