Bergejolaknya Kurs Telah Disampaikan Jauh Hari Sebelumnya
Di saat hari cerah kita sering lupa bahwa mendung pasti menjelang. Demikian pula saat perekonomian sedang baik apalagi modal asing bermasukan sering sikap waspada menjadi hilang. Kehilangan kewaspadaan ini terbukti sekarang dengan kurs rupiah yang bergejolak, agak keras pula, bahkan sempat menembus angka Rp 15.000 per dollar AS.
Kita mungkin abai akan peringatan yang sudah disampaikan dengan baik oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde saat dia berbicara di hadapan petinggi moneter India, New Delhi, 15 Maret 2015.
Pada kesempatan itu juga hadir Gubernur Bank India Dr Raghuram Rajan, mantan ekonom senior IMF yang tepat meramalkan krisis ekonomi AS 2009 (https://www.imf.org/en/News/Articles/2015/09/28/04/53/sp031715).
Saat itu, Lagarde sudah menyatakan pertumbuhan ekonomi global akan terus tumbuh tetapi rentan dengan gejolak yang seketika bisa muncul dari pasar keuangan. Pesan Lagarde soal potensi gejolak ini terkesan sepele tetapi jika ditangkap saksama akan bermanfaat kuat, seperti yang dinikmati Korea Selatan, Taiwan dan Thailand sekarang ini.
Lagarde mengatakan, potensi gejolak itu adalah efek normalisasi kebijakan moneter di AS mulai 2015. Akan ada kenaikan suku bunga dan penarikan kembali dana-dana yang pernah dikucurkan secara luar biasa untuk menyelamatkan perekonomian AS yang sekarat.
Ini mau tidak mau akan memberi efek besar ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang bersama India, Brazil, Turki dan Afrika Selatan disebut "Fragile Five" alias rapuh (https://www.telegraph.co.uk/finance/economics/11550833/Feds-Bill-Dudley-is-alert-to-global-liquidity-storm-yet-signals-3.5pc-rates.html).
Mengapa rapuh? Saat kebijakan moneter AS melonggar dulu itu ada efek luberan peredaran dollar AS ke seluruh dunia. Selama periode 2009 - 2012, negara berkembang kemasukan dana investasi 4,5 triliun dollar AS. Jumlah ini setengah dari total aliran modal global selama periode itu. Ada kenaikan pinjaman dollar AS secara global menjadi 9 triliun dollar AS dari sebelumnya yang hanya 2 triliun dollar AS.
Bayangkan, bagaimana efeknya jika sebagian saja dana ini ditarik kembali ke negara asalnya. Penarikan ini, demikian Lagarde mengingatkan, menaikkan risiko di bagian dunia lain khususnya negara-negara berkembang. “Bahkan meski proses penarikan dana ini terkendali dengan baik potensi gejolak di pasar uang tetap ada dan berpotensi menganggu stabilitas,” demikian Lagarde saat itu.
Masalahnya penarikan kembali dana ini akan menguatkan kurs dollar AS. Penguatan ini juga didorong kenaikan pertumbuhan ekonomi AS yang makin nyata pada 2018. Ketika kondisi ekonomi membaik di negara maju mendorong “rebalancing portofolio”, mengubah aliran modal dunia.
Penarikan dana itu memberi tekanan pada negara-negara, yang mengaitkan rezim kursnya ke dollar AS. Ini makin direpotkan dengan porsi terbesar perdagangan berlangsung dengan negara lain yang tidak memiliki dollar AS.
Apresiasi dollar AS menambah tekanan pada neraca perbankan, perusahaan dan rumah tangga yang meminjam dalam dollar AS tetapi memiliki aset dalam bentuk kurs lain. Kerapuhan akan muncul dari pasar keuangan saat penarikan dana-dana ini terjadi.
Gejolak seperti ini sudah terjadi pada 2013, saat Ben Bernanke sebagai Gubernur Bank Sentral AS mengingatkan akan mulai ada normalisasi kebijakan moneter sejak 2015. Pada 2013 itu sudah muncul gejolak. “Dan gejolak ini tidak cukup satu episode saja, saya khawatir ini akan terus berlangsung,” demikian Lagarde memperingatkan.
Kejutan pasar memang terjadi lagi pada 2015. Kejutan besar termasuk untuk Indonesia terjadi lagi pada 2018 ini.
Trump memperkeruh suasana
Kejutan moneter pada 2018 ini bukan semata-mata karena pengendoran kebijakan moneter oleh Bank Sentral AS. Presiden AS Donald Trump telah menaikkan defisit anggaran pemerintah AS, yang semakin mendorong kenaikan suku bunga dan apresiasi dollar AS. Kenaikan defisit anggaran pemerintah AS akan menaikkan suku bunga sebab defisit harus ditutupi dari utang (https://www.theguardian.com/business/2018/jan/26/imf-chief-warns-trumps-tax-cuts-could-destabilise-global-economy).
Di samping menaikkan defisit, Trump juga menaikkan tarif impor terhadap negara-negara tertentu. Trump menunjukkan sebagian janjinya tentang “America First” dengan pengenaan tarif. Inilah yang turut menaikkan potensi gejolak di sektor keuangan.
Termasuk karena faktor Trump ini, pada 18 April 2018, IMF kembali memperingatkan bahwa risiko gejolak di sektor keuangan semakin kuat. “Ada jalan bergelombang di depan,” demikian kata Tobias Adrian, anggota Dewan Keuangan dan Direktur IMF untuk Departemen Moneter dan Pasar Modal.
Peringatan soal gejolak ini semakin kencang mengingat pinjaman-pinjaman negara berkembang ditopang dana-dana jangka pendek. “Neraca internasional perbankan non-AS didasarkan pada pinjaman janka pendek. Sebanyak 70 persen dari total pendanaan internasional oleh perbankan dunia di luar AS berasal dari pinjaman jangka pendek,” lanjut Adrian.
” Turbulensi di pasar keuangan akhirnya berpotensi makin kuat dengan peningkatan utang ini," kata Adrian.
Ironisnya, peningkatan pinjaman ini terus terjadi hingga 2017 di tengah terjadinya arus penarikan dana dan potensi kenaikan suku bunga dollar AS. Maka Adrian memberi nasihat. “Para investor dan para pembuat kebijakan agar tidak memanfaatkan terlalu banyak dana asing. Mereka harus waspada dengan potensi risiko akibat kenaikan suku bunga, gejolak pasar dan eskalasi perdagangan. Jalan di depan bergelombang,” demikian Adrian pada April 2018 (https://www.imf.org/en/News/Articles/2018/04/18/SM18-tr041818-transcript-of-global-financial-stability-report-press-briefing).
Kiat menekan gejolak
Meski demikian, prospek pertumbuhan ekonomi di depan secara global tetap tinggi. Hanya saja ada beberapa negara yang dianggap rapuh dan menghadapi tekanan. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan konsekuensi buruk?
Pada 2015 Lagarde mengatakan, negara-negara berkembang harus siap-siap. Pertumbuhan ekonomi tinggi harus dipertahankan untuk merangsang invesasi langsung berjangka panjang. Negara-negara harus memelihara kekuatan neraca transaksi berjalan (peningkatan devisa), mempertahankan inflasi rendah, dan memiliki aset-aset likuid dalam kasus ada pelarian modal.
Sektor keuangan yang berdaya tahan diperlukan. Bank Sentral harus siaga termasuk dengan intervensi pasar. Perjanjian “swap” lintas negara akan membantu, semisal penggunaan baht dan rupiah dalam transaksi bilateral Indonesia – Thailand, dengan tujuan untuk mengurangi tekanan pada permintaan dollar AS.
Aliran modal, yang selama ini telah memudahkan banyak negara memanfaatkan pasar untuk meraih utang. Kemudahan ini memunculkan sikap ceroboh dan kurang memerhatikan risiko jika seketika terjadi pelarian modal. Hal seperti itu berpotensi terjadi ketika regulasi lemah.
Karena itu, Lagarde menyarankan pada 2015, harus ada regulasi terhadap kecukupan modal, pengelolaan atas pinjaman tak lancar, serta diperlukan keterbukaan keuangan perusahaan-perusahaan. Ini sangat mendesak untuk para peminjam dana-dana asing.
Ada negara yang sukses mengamankan dirinya. Korea Selatan, kata Lagarde, sukses dengan menekan beban eksternal sektor perbankan menjadi setengah atau menjadi 27 persen selama periode 2008 – 2013. Kurs won Korea Selatan menguat dari 1.243 won per dollar AS pada 27 Februari 2016 menjadi 1.128 won pada 8 September.
Taiwan tergolong sukses menjalankan itu dan terbukti dengan kekuataan mata uangnya di tengah gejolak yang menimpa negara-negara lain. Bahkan, asing melihat ada kesempatan membeli aset-aset Taiwan seperti dikatakan oleh Arjun Jayaraman dari Causeway Capital Management LLC di Los Angeles.
Kurs dollar Taiwan menguat dari 33,47 per dollar AS pada 30 Desember 2016 menjadi 30,82 pada 8 September 20188 (https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-09-05/jpmorgan-blackrock-warn-of-contagion-pummeling-emerging-markets).
Thailand pun tergolong sukses mengantisipasi “rebalancing” aliran dana dunia tersebut. Neraca transaksi berjalan Thailand mengalami surplus, dan cadangan devisanya tinggi, yakni 197 miliar dollar AS. Negara sumber krisis Asia 1997 ini kebal dari gejolak mata uang yang dihadapi negara-negara berkembang sekarang. Kurs baht menguat dari 36,36 per dollar AS pada 9 Januari 2016 menjadi 32,78 pada 8 September (https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-09-05/birthplace-of-asian-crisis-becomes-haven-in-emerging-market-rout).
Korea Selatan, Taiwan, Thailand menghindari pemakaian berlebihan utang luar negeri. Di dalam negerinya, tiga negara ini sibuk melakukan pendalaman struktur perekonomian dengan mendorong efisiensi sehingga termasuk sebagai andalan sebagai lokasi investasi global. Harley Davidson misalnya, belum lama ini merelokasikan sebagian pabriknya ke Thailand ( https://www.usatoday.com/story/money/cars/2018/05/11/union-harley-davidson-ship-work-thailand-closing-u-s-plant/601033002/).
Pencegahan pemanfaat utang luar negeri berlebihan dan dorongan untuk ekspor membuat Korea Selatan dan Thailand khususnya, relatif selamat dari krisis kurs. Padahal, pada tahun 1997, dua negara ini termasuk paling parah terkena krisis moneter Asia. (AP/AFP/REUTERS)