NEW YORK, SELASA Peristiwa cuaca ekstrem disebut sebagai penyebab utama kelaparan global yang meningkat pada tahun lalu. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa (11/9/2018), menyatakan, para perempuan, bayi, dan orang- orang lanjut usia sangat rentan terhadap tren yang memburuk itu.
Sepanjang tahun 2017, merujuk laporan tahunan PBB bertajuk ”Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” itu, jumlah penderita kekurangan gizi di dunia menjadi 821 juta orang. Hal itu antara lain akibat dampak cuaca ekstrem, seperti curah hujan dan atau suhu ekstrem, kekeringan, badai, serta banjir. Angka ini setara dengan satu dari sembilan orang di dunia, naik dari kondisi tahun 2016, yakni 804 juta orang kekurangan gizi secara global.
”Jumlah orang yang menderita kelaparan tumbuh selama tiga tahun terakhir, kembali ke tingkat yang berlaku hampir satu dekade lalu. Sama-sama mengkhawatirkannya adalah 22,2 persen anak balita dipengaruhi stunting pada 2017,” ungkap dokumen itu.
Disebutkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah secara khusus terkena dampak paling parah oleh iklim ekstrem yang semakin sering terjadi. ”Afrika adalah wilayah dengan guncangan iklim dan stres yang berdampak terbesar pada kerawanan pangan akut serta kekurangan gizi, memengaruhi 59 juta orang di 24 negara. Hal ini membutuhkan tindakan kemanusiaan yang mendesak,” demikian laporan itu.
Tren kondisi yang kian buruk juga menimpa sejumlah negara di Amerika Selatan. Ditegaskan dalam laporan, jika ingin mencapai dunia tanpa kelaparan dan kekurangan gizi dalam segala bentuknya pada 2030, penting mempercepat dan meningkatkan tindakan memperkuat ketahanan dan kapasitas adaptif sistem pangan serta mata pencarian masyarakat dalam menanggapi variabilitas iklim ekstrem itu.
Saat banjir, kekeringan, dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya selalu terjadi, para ilmuwan mengatakan, pemanasan global meningkatkan frekuensi dan keparahan peristiwa semacam itu. Laporan PBB menyatakan, di negara-negara tempat guncangan konflik dan iklim terjadi, dampaknya terhadap kerawanan pangan bahkan lebih besar. Hampir 66 juta orang di seluruh dunia membutuhkan bantuan kemanusiaan yang sifatnya mendesak pada tahun lalu.
Suriah, misalnya, negara yang pertaniannya adalah satu dari beberapa sektor yang selamat dalam perang tujuh tahun di negeri itu, menyaksikan panen yang terpukul oleh meningkatnya suhu dan kekeringan.
Meski sudah mengalami penurunan 40 persen dari tingkat pra-konflik, dari 4 juta ton menjadi sekitar 2,5 juta ton, produksi sereal Suriah kemungkinan besar kembali turun tahun ini.
Hal tersebut dikatakan salah satu direktur Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Dominique Burgeon. ”Suriah telah menyaksikan masalah musiman, kuantitas, dan distribusi curah hujan. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan melemahnya sektor pertanian secara keseluruhan,” kata Burgeon.
Yaman, menurut Burgeon, mengalami nasib yang lebih buruk. Sekitar 35 persen penduduknya kurang gizi sehingga negara yang dilanda perang itu menjadi rumah bagi ”krisis pangan paling akut saat ini”.
PBB juga mencatat, perempuan di seluruh dunia sangat rentan terhadap dampak iklim ekstrem. Hal ini terjadi karena mereka sering kekurangan akses ke kekayaan, tanah, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Sebagai contoh, 90 persen Danau Chad telah mengering karena meningkatnya suhu sehingga memaksa perempuan berjalan lebih jauh untuk mengumpulkan air bagi keluarga.
Di India, sumber daya yang terbatas, ditambah dengan ketidaksetaraan jender yang tertanam, membuat keluarga miskin memberi makan anak laki- laki mereka lebih baik daripada anak perempuan. Bayi dan anak kecil lebih berisiko mengalami masalah jangka panjang, dan bahkan sekarat.
Orang tua dan warga cacat juga terpukul keras oleh kondisi ini. ”Di Vietnam, orang tua, janda, orang cacat, ibu tunggal, dan rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan dengan anak-anak kecil paling tidak tahan terhadap banjir, badai, dan kejadian seperti kekeringan yang berulang,” ungkap laporan PBB. (AFP/REUTERS)