IDLIB, SENIN Pertempuran hebat yang beberapa hari belakangan melanda Provinsi Idlib, Suriah barat laut, membuat warga di wilayah itu putus asa. Lebih dari 30.000 warga setempat sebulan ini memilih pergi meninggalkan wilayah yang didera pertempuran.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (10/9/2018), kembali mengingatkan kemungkinan terjadinya ”bencana kemanusiaan terburuk” abad ini di Idlib. ”Kami sangat khawatir atas eskalasi kekerasan yang mengakibatkan 30.000 orang lebih mengungsi dari wilayah ini. Kami memonitor ini secara saksama,” kata David Swanson, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
Idlib merupakan provinsi terakhir di Suriah yang dikuasai para oposisi. Pasukan Pemerintah Suriah dibantu Rusia bertekad merebut kembali wilayah ini melalui serangan bersama. Sekitar 3 juta warga di wilayah itu dibuat takut dengan pertempuran yang diwarnai dengan peledakan bom, serangan udara, dan kekerasan lainnya.
PBB memperkirakan warga yang mengungsi bisa mencapai 800.000 orang. Sebelumnya, sejak perang meletus tahun 2011, diperkirakan separuh dari keseluruhan warga di provinsi ini telah mengungsi ke luar.
Berpindah tempat
Abu Jassim, warga, mengatakan, dia dan keluarganya sudah berpindah tempat beberapa kali karena pertempuran. ”Mereka menghujani empat roket sehingga kami kabur. Kami pergi ke mana saja yang aman,” kata pria berusia 30-an tahun ini dan mempunyai 30 domba.
Konflik di Suriah telah menewaskan lebih dari 350.000 orang. PBB memperingatkan serangan besar di Idlib bisa membawa penderitaan yang belum pernah terjadi.
Kepala OCHA Mark Lowcock meminta ada tindakan mendesak. ”Ada kebutuhan untuk memecahkan masalah. Jangan sampai Idlib mengalami bencana kemanusiaan dalam beberapa bulan dengan jumlah korban jiwa terbesar abad ke-21,” kata Lowcock di Geneva, Swiss, Senin.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Selasa, meminta Rusia dan Iran untuk menghentikan ”bencana kemanusiaan” di Idlib. Ia bahkan meminta adanya gencatan senjata dari para pihak yang terlibat pertempuran.
Dalam tulisannya yang dimuat harian Wall Street Journal, Erdogan mengatakan, negara- negara Barat mempunyai ”kewajiban menghentikan pertumpahan darah berikutnya”, demikian juga rezim sekutu Rusia dan Iran ”bertanggung jawab menghentikan bencana kemanusiaan ini”.
Tulisan itu muncul empat hari setelah Erdogan bertemu mitranya, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Iran Hassan Rouhani, di Teheran. Pengamat mengatakan, Erdogan di pertemuan itu gagal mengegolkan keinginannya terkait Idlib.