Di sebuah kantor di Tokyo, sekelompok pencari suaka mendengar saksama penjelasan rencana pembukaan tiga perusahaan. Hal ini merupakan kesempatan langka karena pasar kerja Jepang dikenal sulit ditembus pendatang.
Berbeda dengan negara maju lainnya, setiap tahun Jepang hanya menerima segelintir pencari suaka. Banyak rintangan yang dihadapi pencari suaka, termasuk persyaratan bahasa, hambatan budaya, dan diskriminasi. Dari hampir 20.000 pemohon tahun lalu, Jepang hanya memberi status pengungsi kepada 20 orang. Penantian keputusan juga cukup lama, rata-rata tiga tahun.
Namun, akibat kekurangan pekerja, sejumlah perusahaan terdorong mempekerjakan pengungsi. Perusahaan pembuat styrofoam, Dairyu, misalnya, kini berharap bisa mempekerjakan dua pengungsi. ”Kami membutuhkan kerja Anda dan ide-ide baru Anda yang tak dimiliki oleh orang Jepang,” ujar Kenichi Osaka, pemimpin perusahaan itu, dalam acara pameran kerja yang diadakan Asosiasi untuk Pengungsi, beberapa bulan lalu.
Dengan begitu cepatnya pertumbuhan warga tua, tingkat pengangguran di Jepang hanya 2,4 persen atau terbilang yang terendah dalam 25 tahun. ”Kami ingin mempekerjakan pengungsi karena tidak ada cukup pekerja di Jepang,” ujar Osaka yang mempunyai 200 pekerja dengan 20 orang di antaranya orang asing. ”Kami mencari ide-ide yang tidak terduga dan tak bisa diprediksi,” kata Osaka lagi.
Perusahaannya menawarkan upah 813 yen (Rp 107.000) per jam atau sesuai rekomendasi upah minimum pemerintah. Dairyu menyediakan pula akomodasi dan libur tiga pekan per setahun.
Bagi pendatang, bisa tinggal di Jepang memang sebuah tantangan. Cing, yang lari dari Myanmar tahun 2008, misalnya, mengaku awalnya berjuang keras untuk bisa beradaptasi.
Berbanding terbalik
Fenomena kekurangan pekerja sudah dialami Jepang dalam beberapa tahun ini. Dipicu oleh kecenderungan semakin berkurangnya jumlah penduduk mulai tahun 2015, negara makmur ini semakin dibebani dengan peningkatan jumlah manusia lanjut usia. Pada 1970, proporsi populasi usia 65 tahun ke atas adalah 7,1 persen, kini persentasenya hampir empat kalinya. Sensus penduduk tahun 2017, jumlah populasi Jepang 126,71 juta orang, sebanyak 27,8 persen di antaranya merupakan manula. Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang memperkirakan pada 2060, persentase warga manula mencapai 40 persen.
Bertambahnya jumlah manula terjadi karena harapan hidup semakin tinggi. Usia harapan hidup 2010-2015 adalah 83,3 tahun. Padahal, sampai era 1965-1970, usia harapan hidup masih kurang dari 70 tahun. Saat ini, tercatat lebih dari 50.000 penduduk Jepang berusia di atas 100 tahun. Meski kebanyakan manula tetap sehat, jumlah mereka yang memerlukan perawatan terus meningkat. Rumah-rumah jompo menjadi tempat tinggal warga lansia sampai mereka tutup usia.
Angka kelahiran di Jepang juga cenderung turun. Persentase warga usia 0-14 tahun menciut. Tahun 2017, jumlah mereka 12,3 persen dari populasi. Pemerintah memproyeksikan pada tahun 2030, total populasi menjadi 116,6 juta orang. Pada 20 tahun kemudian, jumlahnya mengecil menjadi 97 juta orang.
(AFP/RET)