BERLIN, SABTU Arus migrasi paksa ke sejumlah negara menjadi salah satu ujian bagi keberlangsungan demokrasi. Penanganan migrasi membutuhkan kerja sama demi kemakmuran semua pihak dan keberlangsungan demokrasi.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, ada tekanan amat besar pada demografi berupa banjir migrasi paksa. Hal itu memicu ketegangan sosial karena perbedaan kepercayaan, etnis, dan kebudayaan.
”Dalam beragam hal, risikonya memburuk dengan kebangkitan populisme, ujaran kebencian, dan sentimen anti-asing. Situasi ini tak hanya menimbulkan masalah sosial, tetapi juga ekonomi dan politik,” ujar Retno kala membuka Bali Democracy Forum (BDF) Chapter Berlin di Berlin, Jerman, Jumat (14/9/2018). Ia membuka forum itu bersama Menlu Jerman Heiko Mass.
Migrasi sebenarnya fenomena alamiah dan sah yang sudah terjadi dalam jangka panjang. Namun, dunia masa kini menghadapi migrasi yang berbeda. ”Ada peningkatan migrasi paksa akibat perang dan konflik,” ujar Retno.
Salah satu contohnya, dampak perang saudara di Suriah yang meletus sejak 2011. Perang itu menimbulkan pengungsi besar- besaran sejak Perang Dunia II. Belum ada tanda-tanda arus pengungsi itu akan berakhir. Arus pengungsi ini menjadi ujian bagi kemampuan lembaga demokrasi, khususnya dalam mengintegrasikan pengungsi dengan masyarakat di daerah pengungsian.
”Migrasi memengaruhi kemampuan pemerintah menyediakan keadilan sosial. Masyarakat terpecah menyikapi masalah itu. Masyarakat dan pembuat kebijakan dalam kondisi dilematis dalam upaya mencari respons yang memadai,” ujar Retno.
”Peraturan tidak cukup (sebagai solusi tunggal). Solusi atas migrasi tidak hanya bersandar pada peraturan nasional, tetapi juga penumbuhkembangan toleransi dan lingkungan yang mendukung bagi proses inklusi.”
Pada tahap itu, masyarakat akan kembali belajar menerapkan demokrasi. ”Perlindungan hak migran bukan hanya isu HAM, melainkan juga isu pembangunan,” kata Retno.
Migrasi menambah tantangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan memicu ketidakseimbangan dalam perwakilan, kesempatan, dan akses. Hal itu memecah masyarakat.
Kondisi itu bisa memicu dukungan pada kelompok populis dan ekstremis, khususnya di kalangan pemuda. Semua hal itu menjadi tantangan bagi BDF Chapter Berlin.
”Saya berharap BDF Chapter Berlin bisa menjadi bagian dari penyelesaian atas beragama masalah yang dihadapi demokrasi,” ujar Retno.
Ia menambahkan, demokrasi selalu menghadapi tantangan. Berkali-kali demokrasi terbukti pernah menurun di sejumlah negara. Bahkan, di sejumlah negara demokrasi maju sekalipun pernah mengalami pasang surut. Namun, demokrasi selalu terbukti sebagai perangkat terbaik mengatasi berbagai masalah, melayani warga, serta perangkat terbaik untuk kedamaian dan kesejahteraan dunia.
Ia juga menyebut, BDF Chapter Berlin menunjukkan penerimaan global, khususnya Eropa, pada pentingnya forum itu. Sebelum Chapter Berlin, BDF mempunyai Chapter Tunis di Tunisia.
Kerja sama
Selain membuka BDF, Retno dan Mass juga membahas kerja sama bilateral Indonesia-Jerman. Kerja sama itu tidak hanya demi kepentingan Indonesia- Jerman, tetapi juga kepentingan kawasan dan global.
Dalam kunjungan ke Jerman itu, Retno antara lain membahas upaya percepatan pembahasan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa. Ia juga membahas soal Forum Bisnis Asia Pasifik yang akan digelar di Indonesia. Pengusaha Jerman direncanakan ikut hadir dalam forum itu.