Irak Mulai Pilih Presiden
Pembentukan pemerintahan baru Irak dimulai empat bulan setelah pemilu pada Mei 2018. Presiden dan perdana menteri akan dipilih anggota parlemen.
BAGHDAD, MINGGU Parlemen Irak memulai hitung mundur pembentukan pemerintahan baru. Presiden harus dipilih dalam 30 hari ke depan. Sementara pemilihan perdana menteri harus dimulai paling lambat 15 hari sejak presiden dipilih parlemen.
Pembentukan pemerintahan baru dimulai setelah 329 anggota parlemen setuju memilih Mohammed al-Halbousi sebagai ketua. Dalam sidang pada Sabtu (15/9/2018), politisi Sunni itu mendapat dukungan lebih banyak dibandingkan dengan mantan Menteri Pertahanan Irak Khaled al-Obeidi.
Pemilihan ketua parlemen seharusnya dilakukan dalam sidang perdana parlemen Irak, 3 September 2018. Akan tetapi, sidang yang sudah terlambat itu gagal mencapai kesepakatan. Sidang perdana baru digelar hampir empat bulan setelah pemilu dilaksanakan pada 12 Mei 2018.
Lobi selama paruh awal September 2018 akhirnya berbuah pemilihan Al-Halbousi. Setelah terpilih, tugas pertama Al-Halbousi adalah membawa parlemen memilih presiden baru Irak. Parlemen punya waktu maksimal 30 hari untuk memilih pengganti Fuad Masum, Presiden Irak sekarang.
Calon harus didukung minimal oleh 220 dari 329 anggota parlemen agar terpilih sebagai Presiden Irak. Sidang untuk memilih presiden baru harus dilaksanakan paling lambat 15 hari sejak Al-Halbousi terpilih. Dalam pembagian kekuasaan setelah Saddam Husein terguling, disepakati ketua parlemen dari Sunni, presiden mewakili Kurdi, dan PM dari kelompok Syiah.
Perdana menteri
Dalam waktu 15 hari sejak terpilih, presiden harus meminta parlemen mengajukan calon PM. Selain harus politisi Syiah, calon PM harus memimpin blok terbesar di parlemen.
Calon PM terpilih punya maksimal 30 hari untuk memilih para calon menterinya. Jika kabinet sudah dipilih, calon PM dan kabinetnya harus mendapat persetujuan parlemen.
Jika parlemen menolak, presiden harus memulai pemilihan PM dari awal. Siklus itu akan terus berulang selama parlemen tidak setuju atas usulan kabinet yang diajukan PM.
Sejumlah pihak menyebut, pemilihan PM Irak tidak mudah.
Hasil pemilu membuat tidak ada satu kelompok pun yang benar-benar punya kursi mayoritas di parlemen. Fakta itu akan menyulitkan pembentukan pemerintahan baru.
Kelompok Moqtada al-Sadr mendapat 54 kursi dan menempati urutan teratas perolehan kursi di parlemen. Kelompok penyokong PM Irak Haider al-Abadi mendapat 42 kursi
Kelompok Sadr memang meraih kursi terbanyak. Akan tetapi, jumlahnya kurang dari status mayoritas. Ia harus menggalang koalisi dengan kelompok lain. Sampai sekarang, belum ada kesepakatan atas aneka upaya penjajakan koalisi.
Sementara itu, Iran gembira dengan kemenangan Al-Halbousi.
”Kami harap kita bisa segera menyaksikan pemilihan presiden dan PM untuk membentuk pemerintahan baru,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Ghasemi.
Meski Sunni, Al-Halbousi disokong kubu Syiah yang dekat dengan Iran. Sementara wakilnya, Hassan Karim, disokong kelompok Sadr.
Pemilu Suriah
Dari Suriah dilaporkan, pemilu digelar di daerah-daerah yang sudah dikuasai pemerintah, Minggu. Pemilu itu untuk memilih anggota DPRD. Tercatat 40.000 orang merebutkan 18.478 kursi di DPRD berbagai tingkatan. Pemungutan suara berlangsung sejak pagi dan ditutup pada Minggu sore.
Pemilu itu merupakan yang pertama sejak 2011. Pemilu sejenis terakhir kali digelar sembilan bulan sebelum perang saudara meletus di Suriah. Kini, setelah mayoritas daerah sudah kembali dikendalikan pemerintah, pemilu untuk memilih anggota DPRD kembali digelar.
”Saya tahu harus memilih calon mana. Dia muda, giat, dan kemenangannya akan membawa hal baik bagi daerah tempat tinggal kami,” kata Mohammad Kabbadi (42), pemilih di Damaskus, ibu kota Suriah.
Ada pula warga yang menolak memilih. ”Buat apa? apa akan ada perubahan? Semua sudah tahu hasil akhirnya,” kata Humam (33), seorang pekerja di Damaskus. (AP/AFP/REUTERS/RAZ)