Di tengah tarik-menarik aneka kepentingan, semakin tidak mudah mengarusutamakan isu hak asasi manusia. Ketika ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke perbatasan Myanmar-Bangladesh karena persekusi di Negara Bagian Rakhine, komunitas global mengecam keras Pemerintah Myanmar.
Bahkan, aktivis dan lembaga HAM mengkritik Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian, karena dinilai mendiamkan persekusi dan kekerasan terhadap warga Rohingya. Menanggapi kritik itu, Suu Kyi mengatakan, ia berupaya membuat warga Myanmar tidak saling bermusuhan.
Para pembelanya mengatakan, sikap itu diambil untuk menghindari memprovokasi militer dan membahayakan transisi demokrasi di Myanmar. Hanya saja, hingga saat ini, krisis Rohingya belum juga tuntas. Ratusan ribu hingga jutaan warga Rohingya masih terlunta-lunta di kamp-kamp pengungsian yang terbesar di perbatasan Bangladesh-Myanmar serta tersebar di sejumlah negara tetangga, seperti India dan Malaysia.
Situasi yang sama juga dihadapi jutaan pengungsi asal Suriah, Libya, dan Afrika yang saat ini tersebar di sejumlah negara, seperti Turki dan Lebanon. Banyak di antara mereka tidak lagi diterima di Eropa. Meskipun Uni Eropa telah bersepakat membagi beban dan menetapkan kuota, banyak negara anggota memilih menutup diri. Salah satu yang dengan tegas menolaknya ada Hongaria.
Selasa pekan lalu, Parlemen Uni Eropa akan melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban telah melanggar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan blok ini. Jika mosi disetujui dua pertiga dari 750 anggota parlemen Eropa, tidak tertutup kemungkinan Orban akan dikenai sanksi (Kompas, 12/9/2018).
Uni Eropa tidak nyaman dengan sikap Orban yang frontal menolak mandat Uni Eropa untuk menampung imigran berdasarkan kuota. Sikap itu dinilai tidak sesuai dan mengancam nilai-nilai demokrasi yang menjadi landasan Uni Eropa. Orban dinilai cenderung diktator.
Meskipun sejumlah pihak sepakat dengan langkah Uni Eropa, tampaknya tidak mudah meredam Orban. Apalagi, dia berdalih, apa yang dipilihnya sesuai dengan suasana hati pemilih di Eropa. Buktinya, di Eropa, isu pengungsi telah memicu xenofobia dan populisme serta mendorong kelompok dan partai kanan menguat.
Terakhir, barat harus berhati-hati mengkritik Arab Saudi. Mereka tidak ingin menjadi seperti Kanada yang kehilangan perjanjian perdagangan dengan Saudi karena mengecam keras kebijakan Riyadh terhadap sejumlah aktivis HAM.
Spanyol yang pekan lalu berniat membatalkan penjualan bom ke Saudi juga keder setelah Saudi mengancam akan membatalkan pembelian lima kapal perang dari Spanyol. Dan, penjualan bom ke Saudi pun berlanjut. Padahal, Spanyol sejak tahun 2007 telah memiliki undang-undang yang memungkinkan sebuah kesepakatan dibatalkan jika ada alasan rasional bahwa peralatan perang yang dibuat Spanyol digunakan dalam tindakan yang terindikasi melanggar HAM (Kompas, 16/9/2018).
Situasi itu menunjukkan, di tengah menguatnya harapan pada solidaritas kemanusiaan, ternyata semakin sulit menempatkan isu HAM sebagai prioritas.