BRUSSELS, RABU - Para pemimpin negara-negara Uni Eropa mulai membicarakan sejumlah tantangan berat yang dihadapi blok itu di masa depan, Rabu (19/9/2018), di Salzburg, Austria, Isu Brexit dan kegagalan Uni Eropa dalam menangani migran akan menjadi topik utama pertemuan bulanan yang akan rutin dilakukan sampai bulan Desember.
Pertemuan yang tidak dihadiri oleh Perdana Menteri Inggris Theresa May itu akan membicarakan tahap akhir negosiasi dengan Inggris. Diharapkan pada Oktober atau November mendatang parlemen setiap negara telah memperoleh kepastian mengenai Brexit, apakah akan berakhir dengan kesepakatan atau tidak dengan kesepakatan.
Presiden Dewan Eropa Donald Tusk dalam undangan yang disampaikan kepada seluruh pemimpin negara di UE menyatakan, meskipun waktu yang tersisa hanya tinggal enam bulan sebelum Inggris keluar dari UE, ”tetapi sungguh disayangkan, skenario tanpa kesepakatan tetap mungkin terjadi”.
Tusk yang mengoordinasi acara jamuan makan para pemimpin Eropa itu, Rabu malam, meminta agar setiap pemimpin mengutarakan apa yang mereka harapkan dari kesepakatan Brexit, khususnya terkait hubungan dengan Inggris di masa depan. Juga, para pemimpin perlu memutuskan apakah masih diperlukan ruang untuk negosiasi pada menit- menit terakhir.
Tusk juga berharap pertemuan itu memunculkan semacam mekanisme penyelamatan (failsafe) jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Brussels berharap tetap terjadi aliran bebas bagi warga dan barang dari Republik Irlandia (UE) ke Irlandia Utara (Inggris). Alhasil, masalah perbatasan Irlandia Utara menjadi fokus terpenting dalam negosiasi tahap akhir dengan Inggris.
PM May yang sudah mempersiapkan usulan Brexit bertajuk Chequers terus menghadapi tentangan di dalam partainya ataupun dengan kubu oposisi.
Pada intinya, May ingin Inggris tetap berada dalam aturan UE sehingga tetap memperoleh privilese. Sebagai imbalannya, Inggris akan menyetujui aliran barang bebas antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia.
Namun, Chequers ditentang oleh kubu hard Brexit di Partai Konservatif yang menganggap kontrol Brussels masih kelewat kuat. Sementara kubu pro-UE di Konservatif menganggap Chequers terlalu menjauhkan Inggris dari UE. Bagi UE, Chequers menunjukkan Inggris mau enaknya saja tetapi tidak mau tanggung jawabnya.
Migran
Untuk isu migran yang telah memecah soliditas anggota UE, Tusk berharap pertemuan di Salzburg dapat menjembatani perbedaan di antara para pemimpin sehingga mereka bisa memulai sikap yang lebih konstruktif.
Migran yang ditampung di Eropa sebetulnya relatif kecil jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan Jordania, Lebanon, dan Turki. Namun, isu ini telah membangkitkan gelombang ekstrem kanan di Eropa yang antimigran, anti-Muslim dan antiblok UE.
Lebih jauh lagi, isu migran telah mengubah lanskap politik di UE, di mana sejumlah negara di Timur ataupun Barat Eropa kini dikuasai oleh kepemimpinan populis yang ideologinya bertabrakan dengan sejumlah negara Barat yang masih mengedepankan ideologi liberal.
Para pemimpin Eropa akan memutuskan apakah mereka akan mempercepat rencana penguatan perbatasan Uni Eropa dengan mengerahkan sekitar 10.000 personel sampai tahun 2020. Personel keamanan ini memiliki kekuasaan untuk mengecek identitas, memberikan cap pada dokumen pendatang. Mereka juga berhak menahan orang-orang yang memasuki perbatasan tanpa otorisasi dan mendeportasinya.
Meski demikian, sejumlah negara UE menentang perbatasan mereka dijaga dan diawasi oleh personel dari lain negara. PM Hongaria Viktor Orban, misalnya, meski mengaku gembira bahwa UE pada akhirnya menangani masalah perbatasan dengan serius, ia menolak perbatasan Hongaria dijaga langsung oleh otoritas Brussels.