Indonesia memimpin Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) selama satu tahun, sejak September 2017 hingga September 2018. Itu menempatkan Indonesia dalam posisi strategis diplomasi multilateral bidang nuklir. Berikut petikan wawancara harian Kompas dengan Ketua Dewan Gubernur IAEA Darmansjah Djumala, di sela-sela Sidang Dewan Gubernur dan Sidang Umum IAEA, pertengahan September 2018, di Vienna, Austria.
Bagaimana Indonesia terpilih?
Ini dalam rangka menyukseskan Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Juni lalu. Ada pertimbangan pusat (Kementerian Luar Negeri RI), jika kita berkampanye sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia harus menunjukkan peran di dunia internasional. Harus ada investasi politik agar kita dinilai berkontribusi dalam isu internasional.
Selama ini dikenal ada pos-pos diplomasi multilateral, yakni PBB di New York, Geneva, dan Vienna. Bagaimana kita menanamkan investasi politik di tiga poros ini. Maka, dicari apa yang bisa kita ambil kepemimpinannya untuk berkampanye sebagai anggota tidak tetap DK PBB.
Pada September 2017, ada pemilihan Ketua Dewan Gubernur IAEA. Giliran Asia Tenggara dan Asia Pasifik untuk memimpin Dewan Gubernur IAEA, dan Indonesia masuk kawasan ini. Ada tiga negara yang ditawari, yakni Australia, Singapura, dan Indonesia. Indonesia terpilih secara aklamasi sebagai ketua.
Jadi, ini semacam begini, orang sini (Markas PBB di Vienna) akan berbicara ke New York, Indonesia aktif dan perannya sangat signifikan dalam diplomasi multilateral bidang nuklir. Saya yang saat itu menjadi Kepala Sekretariat Presiden ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan Slovenia sekaligus jadi Ketua Dewan Gubernur IAEA.
Apa tantangannya?
Bagaimana memosisikan diri dalam tarikan kepentingan negara-negara anggota IAEA dan antara negara-negara adidaya dengan Sekretariat IAEA. Kita harus mendengarkan mereka dalam rangka mewujudkan keamanan internasional. Isu berat yang harus dibahas Dewan Gubernur yang bertugas mengambil keputusan sehari-hari adalah pendekatan pengawasan instalasi nuklir terhadap negara (SLA).
Dewan Gubernur merupakan pengambil keputusan sehari-hari. Jadi, pertarungan kepentingan ada di Dewan Gubernur. Ini sudah lima putaran ada persidangan. Setiap putaran, tiga minggu.
Pada Sidang Dewan Gubernur IAEA kali ini, isu yang ramai dibahas ialah SLA. Rusia mempertanyakan legalitas tindakan IAEA menerapkan SLA kepada negara anggota, termasuk yang tidak punya protokol tambahan yang membolehkan IAEA menginspeksi instalasi nuklir suatu negara yang tidak dideklarasikan.
Indonesia sebagai ketua harus menjamin sidang berjalan sukses dan menghasilkan kesimpulan. Jadi, pendapat semua negara harus diakomodasi. Keputusannya, SLA jalan, tetapi keberatan dari Rusia dicatat.
Dalam kesempatan itu, Darmansjah juga menegaskan komitmen Indonesia membantu pelaksanaan tugas IAEA. Dikaitkan dengan kebijakan Nawacita, keanggotaan Indonesia merupakan bagian dari diplomasi yang dapat bermanfaat bagi rakyat, salah satunya penguatan kapasitas melalui program penerapan nuklir.
Prioritasnya?
Dalam satu tahun kepemimpinan di IAEA, Indonesia memprioritaskan pemanfaatan teknik nuklir bagi kesejahteraan manusia. Contohnya, IAEA memberi bantuan kepada Indonesia melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) berupa teknologi nuklir untuk deteksi fertilitas sapi dan pakan ternak. Ini akan dikembangkan agar Indonesia jadi pusat percontohan peternakan sapi dengan teknologi nuklir bagi negara-negara anggota IAEA.
Untuk sektor perikanan, dengan bantuan IAEA, Batan mengembangkan alat irradiator untuk membunuh bakteri pembusuk ikan sehingga hasil perikanan akan lebih awet. Studi kelayakan pemakaian teknik nuklir ini dilaksanakan di empat titik, yaitu Natuna, Pangandaran, Miangas, dan Saumlaki. Kami prioritaskan daerah perbatasan karena sangat strategis secara geopolitik untuk menunjukkan eksistensi negara melalui kegiatan perekonomian.