Konsumen AS Susah Lepas dari ”Virus China” (I)
Amerika Serikat dan China memiliki kedalaman hubungan ekonomi seperti dikatakan Stephen Roach, profesor ekonomi dari Universitas Yale. Namun, bagi Gedung Putih ada masalah dagang bilateral kedua negara yang kian memuncak di era Presiden Barack Obama, dan berubah menjadi perang dagang terbuka di era Presiden Trump. China tidak mau tunduk pada AS seperti Jepang pada dekade 1980-an, mengapa? Lantas, logiskah tindakan Trump? Bagaimana akhir dari perang dagang ini serta apa dampaknya bagi konsumen AS dan dunia secara geoekonomi dan geopolitik? Untuk memetakan semua itu berikut ini ada tiga ulasan berseri.
Di bawah Presiden Donald Trump, AS menghukum China lebih keras dengan tarif impor. Pada 20 September, Trump mengumumkan pengenaan tarif 10 persen pada 200 miliar dollar AS impor asal China dan berlaku mulai 24 September 2018. Jika China membalas, tarif akan dinaikkan lagi menjadi 25 persen pada 1 Januari 2019.
Ini adalah sanksi tarif lanjutan karena China terus melawan dengan membalas sanksi sebelumnya. AS telah mengenakan tarif 25 persen pada impor baja dan 10 persen pada aluminium impor asal China. Trump mengenakan lagi tarif 25 persen pada 34 miliar dollar AS impor asal China pada Juli 2018. China membalas dengan jumlah serupa.
Tarif 25 persen dikenakan lagi pada 16 miliar dollar AS impor menjadi total 50 miliar dollar AS pada Agustus lalu. China langsung membalas dengan perlakuan serupa.
Peter Navarro, penasihat dagang untuk Presiden AS Donald Trump, memberikan argumentasi di balik rentetan aksi ini. Intinya, China dikatakan menipu dan memanipulasi AS lewat perdagangan sehingga AS dirugikan dengan pembengkakan defisit.
Argumentasi ini sulit diterima oleh perusahaan dan konsumen AS yang sudah ketagihan produk-produk sangat murah asal China.
Trump, didukung penasihatnya, termasuk Kepala Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) Robert Lighthizer, malah tidak perduli. Trump sejak awal memang sengaja menunjuk Lighthizer, Wakil Ketua USTR dari era Presiden Ronald Reagan. Lighthizer keras terhadap China dan menuduh negara itu bertanggung jawab atas defisit perdangan AS sebesar 370 miliar dollar AS dengan China.
Pada Januari 2017, Trump menjanjikan Lighthizer akan bekerja keras soal China demi para pekerja AS. Lighthizer tidak suka dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan menuduh China telah gagal memberikan komitmen di WTO.
”Sikap pasif di antara pembuat kebijakan AS telah menyebabkan defisit besar dan kini disadari sebagai ancaman utama bagi negara kita,” kata Lighthizer dalam testimoni kepada Kongres AS pada 2010. ”AS harus serius melihat masalah ini dan lebih agresif soal China,” katanya.
Lighthizer adalah figur taktis dan berpengalaman soal perdagangan. Dia pernah memakai ”Section 301”, aturan hukum dagang domestik AS yang mengabaikan aturan dunia. Dia berhasil memaksa Jepang mengurangi ekspor baja dan kendaraan pada dekade 1980-an ke pasar AS.
”Lighthizer sangat cerdik, strategis, dan tak ada rasa takut,” kata seorang ahli hukum di Washington. ”Dia akan menggunakan segala taktik yang tersedia untuk menaklukkan China atau siapa saja yang dianggap menipu,” ujarnya lagi. Baca tulisan Reuters tentang Lighthizer
Ketika ada Navarro dan Lighthizer, Kevin Hassett, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mengatakan, ”AS akan menang dan China akan tertekan serta merugi.”
Rencana menakutkan
Ada satu lagi tokoh, yakni Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, yang juga sangar terhadap China. ”China harus mengubah perilakunya,” kata Ross. Dengan sanksi terbaru dari AS, China tidak memiliki alat memadai untuk melawan lagi, lanjut Ross.
Jauh sebelumnya, Ross berkata, ”China harus ditekan lewat tarif. China memiliki rencana menakutkan dengan program ‘Made in China 2025’. China merencanakan transformasi untuk menjadi negara dengan kekuatan teknologi. Ini menakutkan karena membuat hak kekayaan intelektual AS berada dalam risiko.”
”China kini dapur produksi dunia dan visi mereka adalah menjadi pusat teknologi dunia. Ini masalah yang sangat, sangat besar,” kata Ross di hadapan para pengusaha AS. Program Made in China 2025 memetakan strategi negara yang membuat China mendominasi di setiap industri inti, mulai dari telekomunikasi angkasa ke robot hingga mobil elektrik.
”Mereka melakukan itu dengan menumpuk surplus dagang untuk dialokasikan ke riset semikonduktor dan ke riset apa pun yang Anda sudah bisa bayangkan,” kata Ross seperti dikutip oleh kantor berita Perancis Agence France Presse (AFP) pada 25 April 2018. Baca: berita AFP tentang surplus dagang
Bagi Ross, China adalah ancaman besar dan nyata. Dia meminta pengusaha mengamankan kekayaan intelektual. Dan, atas dasar opini inilah, China terus ditekan sejak kampanye pada 2015-2016 dan diwujudkan pada 2018.
Mencuri teknologi
Navarro berpandangan lebih ekstrem, dan tidak lagi memilah-milah kata atau kalimat. Dia menyampaikan argumentasi terbaru tentang latar berlakang pengenaan sanksi lewat wawancara dengan radio di AS, NPR, pada 19 September 2018.
Navarro mengatakan, Baca: pendapat Navarro China telah mencuri hak kekayaan intelektual AS dengan memaksa perusahaan AS yang beroperasi di China untuk melakukan transfer teknologi. China dia tuduh telah menginvasi hingga mendominasi produk-produk ekspor dengan teknologi yang secara historis menjadi andalan AS. ”Permata yang menjadi mahkota kita,” demikian kata Navarro.
Navarro melanjutkan, China juga mengekspor 506 miliar dollar AS ke pasar AS, tiga kali lebih banyak dari ekspor AS ke China. China menipu antara lain dengan mengenakan hambatan tinggi melalui tarif ataupun nontarif terhadap ekspor AS ke China. China menggunakan subsidi untuk menurunkan harga produksi ekspor dengan tujuan menginvasi pasar AS. China menipu, kata Navarro, berulang kali.
Rentetan sanksi bertujuan agar China membuka pasar lebih lebar untuk AS, menghentikan pencurian teknologi, dan tunduk pada tekanan AS. Sanksi juga bertujuan mendorong relokasi pabrik ke AS.
Perusahaan menolak
Sanksi demi sanksi terhadap China telah membuat perusahaan AS mulai berpikir untuk mencari sumber impor dari negara lain atau pindah ke AS. Ted Murphy, pengacara bidang perdagangan dari Baker McKenzie, mengatakan, Trump telah memberi sinyal bagi banyak perusahaan untuk berpikir kembali soal operasi bisnis, entah itu dengan memindahkan pabrik ke AS atau mencari impor dari negara lain di luar China.
Namun, Jake Parker dari US China Business Council menyatakan, China adalah basis produksi global. Sulit melepas pesanan produk dari China. ”Salah satu perusahaan AS memproduksi komponen televisi di China,” ujar Parker.
Karena ada tarif, perusahaan mencoba mencari pemasok dari negara-negara lain. Realitasnya, kapasitas adalah kunci. Kapasitas produksi komponen televisi seluruh dunia, jika digabungkan, kalah jauh dari total kapasitas di China. Susah bagi perusahaan mengalihkan produksi dari China dalam jangka pendek.
Atas pernyataan Jake Parker ini, Navarro memberikan jawaban meski belum tentu benar atau tidak. Navarro mengatakan, Korea Selatan pasti dengan senang hati menaikkan kapasitas produksi. Demikian juga dengan Vietnam, jikalau impor dari China lebih mahal karena tarif. Apa yang dimaui dari AS? Impor boleh, asal bukan dari China!
Meski demikian, ada seruan Trump bahwa produksi harus kembali ke AS setelah tarif dikenakan ke China. Navarro menambahkan akan segera ada aliran investasi kembali ke AS sebagai efek sanksi itu. Navarro menganggap, semuanya akan mudah saja.
Mustahil berproduksi di AS
Akan tetapi, mengubah jaringan produksi tidak mudah, seperti dituliskan kantor berita Associated Press, 18 September 2018. ”Ide pengenaan tarif dengan harapan produksi akan kembali ke AS tampaknya tidak akan terwujud,” kata Wendy Cutler, mantan perunding dagang AS dari USTR, kini Wakil Presiden Asia Society.
”Asumsi Trump bahwa tarif akan memulihkan produksi kembali ke AS terlalu simplistis,” lanjut Cutler. Kasus Ford memperkuat itu, kata Cutler.
Ketika Trump meminta Ford dan Apple mengembalikan produksi ke AS, Ford memberikan jawaban. ”Tidak menguntungkan memproduksi di AS karena penjualan mobil tidak sampai 50.000 unit per bulan,” kata Mike Levine, juru bicara Ford. Perusahaan ini memproduksi di China bukan saja untuk tujuan pasar AS, tetapi juga konsumen China.
Presiden Apple Tim Cook menyatakan akan memulai pendirian pabrik di AS. ”(Namun) tarif akan memukul AS karena menurunkan pertumbuhan dan daya saing serta menyebabkan harga lebih tinggi bagi konsumen AS,” demikian surat Apple pada 5 September 2018 ke USTR. Pada Mei 2018, Cook menyatakan tarif bukan pendekatan tepat terhadap China.
Keluhan bermunculan di AS. Keputusan soal tarif hanya akan menambah tekanan pada korporasi AS. ”Perusahaan tidak mudah memindahkan pabrik karena tidak berbiaya sedikit, dan pemindahan memerlukan waktu berbulan-bulan jika tidak bertahun-tahun termasuk untuk menemukan pemasok baru yang memenuhi semua standar,” kata Wakil Ketua National Retail Federation Jonathan Gold.
Sanksi malah akan memukul korporasi AS sendiri. ”Sekitar 75 persen perusahaan AS yang beroperasi di China akan terkena dampak tarif,” kata Ketua American Chamber of Commerce di China William Zarit.
”Trump sedang berbuat kesalahan,” ujar Kaushik Basu, ekonom senior Bank Dunia periode 2012-2016 yang kini profesor ekonomi di Universitas Cornell lewat tulisannya di Project Syndicate. ”AS dan banyak negara lain sudah ketagihan produk China,” lanjutnya.
”Seperti produk tertentu, membelinya dari satu negara bisa menciptakan rasa ketagihan. Sekali kamu menguasai segala peraturan dan regulasi, juga menguasai kultur budaya dan politik dari mitra dagang, kamu akan tertarik untuk terus berbisnis dengan negara tersebut,” kata Basu dalam artikelnya pada 25 Juli 2018.
Memohon patriotisme
Tarif tidak mudah diterima di AS. Maka, tidak heran jika Trump memohonkan patriotisme dalam menghadapi China. ”China secara terbuka menyatakan bahwa mereka aktif memberi dampak dan mengubah pemilu kita dengan menyerang petani dan para pekerja industri karena mereka loyal terhadap saya,” demikian Presiden Trump, Selasa, 18 September.
”China tidak paham bahwa orang-orang ini punya patriotisme hebat, dan mereka mengerti China telah memanfaatkan AS soal perdagangan sekian tahun. Mereka tahu bahwa hanya saya yang bisa melakukan itu (menekan China). Akan ada retalisasi ekonomi pada petani kita, dan para pekerja industri menjadi target,” kata Trump.
Libby Cantrill, Kepala Kebijakan Publik dari Pacific Investment Management Co mengatakan, tidak bisa diremehkan filosofi Trump soal China. Trump akan terus memainkan isu China selama dia berkuasa.
Trump akan terus memainkan isu China selama dia berkuasa.
Hal yang harus digarisbawahi adalah patriotisme tampaknya tidak berlaku soal bisnis. Pada 21 September 2018, Walmart mengirimkan surat kepada Robert Lighthizer. Walmart, pasar swalayan terbesar dunia, mengatakan akan menaikkan harga-harga jualan mereka.
Surat kepada Trump
Surat disampaikan dua pekan sebelum Trump mengenakan tarif terbaru kepada China, dengan pesan agar kedua negara mencari solusi.
”Sebagai pemilik pasar swalayan terbesar di AS dan pembeli utama produk manufaktur AS, kami prihatin dengan dampak tarif terhadap bisnis dan konsumen kami, juga pemasok kami dan bagi perekonomian AS secara keseluruhan,” demikian penggalan kalimat Walmart itu. Baca: soal Walmart
Target, salah satu pesaing Walmart, juga melakukan hal serupa. Perusahaan ini meminta penundaan tarif sebagaimana disampaikan lewat surat ke USTR pada 6 September, yang diteken Ketua Divisi Perdagangan Target Mark Tritton pada 6 September.
Tritton menambahkan, pengenaan tarif akan menaikkan beban biaya bagi keluarga, bahkan menaikkan biaya sekolah karena biaya kursi, meja, rak-rak buku asal impor menjadi naik.
USTR menerima 6.200 surat terkait keluhan serupa serupa. Koalisi 300 perusahaan eceran termasuk Kohl’s LL Bean, Gap, Macy’s, Under Armour, Petland, Dollar General, IKEA North American Services juga telah menuliskan surat serupa.
Usaha kecil terpukul
CEO Dollar Tree, Garry Philbin, mengatakan, tarif telah memukul pelanggan. ”Sebab, banyak di antaranya berpendapatan rendah dan bergantung pada toko-toko kami untuk kebutuhan sehari-hari yang murah. Produk yang kami impor berbiaya rendah, kontras dengan produk teknologi canggih yang seharusnya menjadi target tarif,” kata Philbin.
Andre Phillips, manajer di Wyckes Furniture Outlet di San Diego, mengatakan, tarif pasti akan dibebankan ke konsumen. Sebab, jika tidak, perusahaan akan rugi untuk setiap produksi. Padahal, sekarang ini konsumen ingin membeli dengan harga termurah.
Adam Rossi, pemilik Adam Solar Rides, penjual sepeda elektrik, skateboards dan hoverboards di Pittsburgh mengatakan, ”Konsumen AS tidak mau membayar lebih.”
Ken Kieran, pemilik Union Farm Equipment di Union, Maine, mengatakan, tarif-tarif sebelumnya sudah menyebabkan kenaikan harga. Kini ada lagi tarif tambahan. ”Apa pun yang saya jual ada kandungan produk baja, jadi harga produksi sudah naik. Kini ada tarif lain lagi,” ujarnya.
Borosnya pemerintah AS
Amerika memang mengalami defisit perdagangan. Namun, Steve Hanke, profesor ekonomi dari Johns Hopkins University (AS) dan mantan tim penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagan, memberi argumentasi. Defisit perdagangan, kata Hanke, adalah ”akibat ulah AS sendiri”. ”Lepas dari apa pun yang terjadi, defisit perdagangan akan membesar … Dia (Trump) sedang melakukan sesuatu yang memperbesar defisit itu,” ujarnya.
Kebijakan stimulus seperti ini akan mendorong konsumsi warga AS. Ini akan diterjemahkan ke pembelian produk dengan harga murah dari mana pun itu asalnya. ”Meski tarif menyebabkan harga produk China menjadi lebih mahal, konsumen akan membeli dari negara lain dan intinya defisit perdagangan tidak akan turun,” kata Hanke.
Trump tidak mencuatkan bahwa produk impor asal China itu adalah juga produksi korporasi AS di China, seperti milik iPhone, Boeing, dan Ford. Juga ada 50 korporasi AS yang menguasai pasar dunia, seperti dominasi Twitter, Xerox, Netfix, Tesla, Kellog Co, Fedex, Visa, dan Exxon-Mobile.
Trump juga mendistorsikan persepsi soal perdagangan. ”Dia hanya bicara soal defisit perdagangan barang tetapi lupa menyebutkan bahwa AS menikmati surplus di sektor jasa dan keuntungan perusahaan di Uni Eropa,” kata Profesor Dr Gabriel Felbermayr merujuk pada relasi dagang AS-Uni Eropa.
Dan, sungguh menarik sebuah artikel di harian The New York Times Baca: artikel tersebut di New York Times, 5 September 2018, dituliskan seorang pejabat dari Gedung Putih secara anonim dengan judul ”I Am Part of the Resistance Inside the Trump Administration”.
Intinya, seperti dituliskan dalam artikel itu, banyak orang dalam pemerintahan Trump yang tidak sepakat. Pejabat itu bersama sekelompok di Gedung Putih ingin memblokir banyak kebijakan Trump yang dinilai salah langkah. Salah satu alasannya, Trump tidak memiliki nalar yang baik soal nilai-nilai dan soal kebijakan luar negeri (AP/AFP/REUTERS)