Berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat dengan China semakin memunculkan tekanan terhadap perekonomian global. China tampak enggan melanjutkan negosiasi dengan AS.
BEIJING, SENIN Pemerintah China menuduh Washington melakukan praktik intimidasi ekonomi melalui penerapan tarif impor besar-besaran terhadap Beijing. Penerapan tarif impor oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap barang-barang asal China menjadikan kini sudah separuh dari total ekspor China ke AS dikenai tarif. Dimungkinkan, penerapan tarif itu akan mencakup semua produk China ke AS jika Beijing dinilai tidak patuh terhadap kemauan Washington.
”Perang dagang kini menjadi sebuah realitas,” kata kepala ekonom lembaga Fitch, Brian Coulton, dalam laporannya, Senin (24/9/2018). ”Risiko tekanan pada proyeksi pertumbuhan (ekonomi) global juga meningkat.”
Pada awal pekan ini, Fitch menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi, baik untuk tingkat global maupun China sebagai sebuah negara. Dengan proyeksi tekanan sebesar 0,1 persen masing-masing, ekonomi global dan China tahun depan diperkirakan secara berturut hanya akan naik 3,1 persen dan 6,1 persen.
Pemerintah AS pada Senin kemarin, sesuai rencananya, mulai menerapkan tarif impor sebesar 10 persen terhadap 5.745 produk impor asal China senilai 200 miliar dollar AS. Aneka barang-barang yang diberlakukan tarifnya sangat beragam, termasuk sepeda dan perabotan.
Penerapan tarif itu langsung dibalas Beijing. Badan bea dan cukai China mengatakan, pihaknya menanggapi hal itu pada Senin siang dengan mulai menerapkan tarif impor asal AS terhadap 5.207 jenis barang senilai 60 miliar dollar AS. Dengan tingkat tarif 5-10 persen, barang-barang itu mencakup mulai dari madu hingga bahan-bahan kimia industri.
Konflik dagang AS-China antara lain bermula dari keluhan Presiden AS Donald Trump terhadap China. Beijing dituduh telah mencuri atau menekan perusahaan asing yang beroperasi di China agar menyerahkan teknologi. Perkembangan terbaru terkait hal itu, para pejabat AS menilai rencana China untuk memimpin pengembangan robotika dan teknologi lainnya telah melanggar kewajiban pembukaan pasarnya serta bisa mengikis kepemimpinan industri AS.
Para pemimpin China mencoba menawarkan diri untuk mempersempit surplus perdagangan bernilai miliaran dollar AS kepada Washington dengan membeli lebih banyak gas alam dan ekspor AS lainnya. Namun, Beijing menolak tekanan untuk mengubah rencana industri mereka yang dilihat oleh para pemimpin negeri komunis itu sebagai jalan menuju kemakmuran dan meningkatkan pengaruh di tingkat global.
Media The Wall Street Journal melaporkan bahwa para pejabat China menarik diri dari pertemuan untuk membahas kemungkinan pembicaraan yang diusulkan oleh Washington.
Sejauh ini Pemerintah China tidak memberikan indikasi, apakah akan menerima undangan itu atau tidak. Utusan kedua pihak terakhir kalinya bertemu pada 22 Agustus lalu di Washington. Masing-masing melaporkan tidak ada kemajuan dari hasil negosiasi itu.
Bursa saham tertekan
Perkembangan terbaru atas perang dagang dan terancam mandeknya negosiasi tersebut ikut menekan mayoritas bursa saham di Asia dan Eropa kemarin. Kekhawatiran para investor dan pelaku pasar bermuara pada tekanan terhadap perekonomian global lebih lanjut.
”Saham secara global berada di bawah tekanan setelah China membatalkan negosiasinya dengan AS, memicu peningkatan eskalasi perang dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar itu,” kata analis dari lembaga Oanda, Dean Popplewell.
Analis dari lembaga IG, Joshua Mahony, menilai perang dagang tetap menjadi perhatian utama bagi pasar keuangan global. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa pergerakan pasar Eropa mengikuti pasar Asia yang mayoritas tertekan.
Pasar saham AS juga bergerak melemah di awal perdagangan kemarin. Sejumlah analis menilai para pelaku pasar cukup khawatir bahwa perkembangan terbaru konflik dagang AS-China akan menyebabkan perusahaan-perusahaan AS harus angkat kaki dari China sebagai sebuah negara dengan pasar raksasa. Saham-saham perusahaan teknologi terlihat turun 0,7-1 persen. (AP/AFP/REUTERS/BEN)