Trump Ancam China, Bagaimana Antisipasi Indonesia? (3)
Presiden AS Donald Trump tidak tampak mengendor soal perang dagang. Trump terus mengancam China. Sebaliknya, China juga terus melawan sehingga boleh jadi ada efek lanjutannya dari "perang" itu. Perang dagang ini juga telah menghardik China untuk lebih gencar dengan reformasi internal mereka. China yang berpotensi menjadi lebih besar dan kuat, wajib menjadi perhatian Indonesia.
“Ekonomi China memiliki daya tahan, dan mampu mengontrol sistem produksi,” kata Wei Jianguo, mantan Wakil Menteri Perdagangan China, yang kini pemikir di Centre for International Economic Exchanges (CIEE). CIEE adalah sebuah think-tank yang berafiliasi dengan pemerintah China. Dia berbicara pada hari Selasa, 28 Agustus, di Beijing terkait isu perang dagang AS-China.
Chen Wenling, mantan Direktur State Council Research Office, yang kini juga menjadi ekonom senior di CIEE mendukung pendapat Wei. “Tekanan Trump tidak akan menjungkalkan ekonomi China. Jika kita melihat siklus sejarah panjang, waktu berpihak pada China dalam terminologi ide-ide,” kata Chen.
Chen mengatakan, perang yang dicanangkan Trump menjadi pemasok energi baru bagi China untuk lebih serius mengembangkan teknologinya. AS sudah mencekik China, termasuk lewat pelarangan ekspor semi-konduktor buatan ZTE ke AS.
“Ini telah mengajarkan kita bahwa takdir warga China harus ada di tangan sendiri.… Kita harus meraih kontrol lewat kreativitas, penguasaan teknologi inti dan komponen inti,” ujar Chen.
Berlanjut atau tidaknya perang dagang, China menyadari sebagai sebuah negara harus siap dalam menghadapi segala kemungkinan terburuk. Inilah yang jauh lebih penting dari sekadar efek jangka pendek dari perang tarif. Semangat China semakin berapi-api untuk memajukan dirinya.
Efek jangka pendek
Dalam jangka pendek, tentu ada riak-riak kecil sampai prediksi terparah setara resesi 2008, sebagaimana diingatkan oleh Bank Dunia pada bulan Juni lalu. Itulah perkiraan soal efek perang dagang bilateral AS-China. Ada pula prediksi bahwa ekonomi AS dan China akan sama-sama menderita.
Analisis dari lembaga konsultan, Oxford Economics, menyebutkan produksi domestik bruto (PDB) AS dan China akan sama-sama turun 0,3 persen.
“Mungkin, angka pertumbuhan ekonomi turun (misalnya, 1 persen menjadi sekitar 5 atau 6 persen), kami bisa menerima. Ini tidak masalah,” kata Hu Xijin, editor The Global Times. Hanya saja, dia mengingatkan penghasil telepon seluler seperti Apple dan perusahaan otomotif AS tak akan bertahan tanpa konsumen China jika daya beli warga China menurun akibat perang tarif.
Jika pun harus sengsara, warga China lebih siap. Charles S.Y. Liu, seorang pialang, mengatakan China lebih toleran dengan penderitaan. “Karena kami pernah begitu lama hidup miskin. Kemakmuran baru juga muncul dalam satu dekade terakhir," ujarnya.
Asia, yang tergantung perdagangan, juga pasti terganggu sebagaimana dikatakan Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Takehiko Nakao pada bulan Mei lalu. Namun, Nakao juga mengatakan aliran perdagangan dan investasi di kawasan Asia sendiri berkembang sangat pesat.
Relokasi pabrik dari China
Ada yang berbicara soal efek lain adalah seperti diberitakan Reuters, Rabu (19/9/2018). Pengenaan tarif oleh AS terhadap China mendorong SK Hynix (Korea Selatan), Mitsubishi Electric, Toshiba Machine Co, dan Komatsu (Jepang) yang merencanakan pemindahan pabrik dari China sejak Juli 2018.
Compal Electronics (Taiwan) dan LG Electronics memikirkan pemindahan pabrik dari China jika friksi makin parah.
Beberapa negara seperti Taiwan dan Thailand memang aktif mempersiapkan diri bahkan merangsang relokasi industri dari China ke dua negara tersebut. Memang, inilah yang diinginkan Trump. Tarif akan membuat investasi keluar dari China. Penasihat dagang Trump, Peter Navarro, begitu yakin investasi keluar dari China dan balik ke AS.
Tampaknya, jika terjadi relokasi maka AS bukan pilihan. “Hanya 6 persen korporasi AS di China yang ingin balik ke AS,” kata William Zarit, Ketua American Chamber of Commerce (AmCham) di China.
Hanya 6 persen korporasi AS di China yang ingin balik ke AS.
Mayoritas ingin bertahan. Kalau harus keluar dari China maka pilihannya adalah Vietnam dan Indonesia untuk produksi yang menuntut upah rendah. Maka tidak heran jika para ekonom menegaskan, kalkulasi Trump salah total soal pengenaan sanksi tarif atas China.
Gejolak kurs
Ada prediksi bahwa perang dagang AS-China akan mengganggu aliran devisa internasional, terutama jika devisa untuk China menurun akibat ekspor turun. Ada kekhawatiran hal itu akan mendorong depresiasi atau devaluasi yuan (renmimbi) guna merangsang ekspor. Jika ini terjadi, maka depresiasi mata uang negara-negara berkembang bisa berkecamuk lagi.
Secara umum, negara-negara berkembang memiliki cadangan devisa kuat. Indonesia yang relatif rawan bisa mengalami lagi goncangan kurs. Akan tetapi Perdana Menteri China Li Keqiang sudah menegaskan, China tidak akan melakukan devaluasi.
Ada hal menarik yang dipikirkan oleh orang-orang China. Ini didorong sebuah kekhawatiran agar jangan sampai akibat perang dagang dengan Trump membuat China meniru langka Trump. “Sikap menutup diri menyebabkan penurunan daya saing ekonomi,” kata Yan Xuetong, Dekan Institute of International Relations di Tsinghua University.
China masih ingat dengan kuat kejatuhan ekonomi China di era Mao Zedong, yang membawa China pada sikap menutup diri. “Ketika Trump proteksionis, China jangan mengikuti hal serupa,” kata Yan.
Ketika Trump proteksionis, China jangan mengikuti hal serupa.
Sebagaimana diberitakan oleh kantor berita Xinhua, 21 September 2018, China kini sedang mengevaluasi dampak tarif. Menurut jubir Kementerian Perdagangan China, Gao Feng, tarif akan berdampak pada enam kategori yakni mekanik elektro, industri ringan, tekstil, garmen, sumber daya dan farmasi.
Korporasi asing tampaknya akan terkena separuh dari dampak gangguan itu. Sanksi tidak hanya menganggu korporasi China tetapi juga AS dan juga keamanan sistem jaringan produksi dan pemasaran global. Untuk itu, China akan mengeluarkan kebijakan serta mengimplementasikan pada saat yang tepat.
Korporasi asing juga berpikir untuk mendalami konsumen China sendiri, seperti diakui Gao, sehubungan dengan potensi besar pasar China. Ada 400 juta warga kelas menengah di China, seperti dikatakan Ketua Hangzhou Wahaha Group, perusahaan minuman terkemuka di China.
Negara ini juga tidak menolak niat korporasi asing yang memang sejak lama telah menikmati pasar China, termasuk Boeing. China memang memiliki potensi besar dengan konsumen 1,4 miliar jiwa.
Kontribusi konsumsi domestik terhadap PDB China bahkan sebesar 80 persen. Mao Shengyong, jubir Biro Nasional Statistik China menyatakan, permintaan domestik merupakan kekuatan besar ekonomi.
Lanjutkan inovasi
China sedang berpikir keras soal efek perang dagang. China juga mencanangkan reformasi lanjutan yang lebih serius untuk mengefisienkan perusahaan-perusahaan milik negara, atau membiarkannya mati jika tak bisa bersaing. China menjanjikan pendalaman konsumsi domestik dengan menawarkan produk lebih berkualitas dan tetap relatif murah.
Tekanan Trump berpotensi semakin memajukan China, bukan membonsai negara tirai bambu ini.
Upaya perluasan relasi dagang dan ekonomi China ke negara-negara lain juga semakin gencar. Ekspansi ini didukung Jack Ma, pendiri Alibaba. Negara-negara di luar AS akan menjadi sasaran ekspor hingga Benua Afrika yang baru saja dikunjungi Presiden Xi Jinping.
Dengan skema ini, skenario AS di bawah Trump hanya akan berujung dengan aksi gigit jari. AS akan dipaksa meninjau ulang kebijakannya. Trump sendiri pernah berkata kepada Gary Cohn, mantan penasihat ekonominya, bahwa dia tidak menutup peluang untuk menghentikan aksinya jika terbukti gagal.
Ada fakta lain yang menunjukkan soal kebijakan dagang blunder AS yang kemudian terpaksa diubah. Pada tahun 2002, Presiden George W Bush mengenakan tarif 8 - 30 persen terhadap impor baja asal China. Aksi ini gagal menaikkan kesempatan kerja pada industri baja. Tarif ini diakhiri satu setengah tahun kemudian.
Skenario optimis
Ada skenario lain yang menarik. AS dan China kembali ke status quo dengan modifikasi bernuansa rekonsiliasi. Apalagi, fakta empiris memperlihatkan China dan AS telah mengembangkan hubungan ekonomi yang dekat dalam 40 tahun terakhir sejak era Presiden Richard Nixon dan Deng Xiaoping. “Perang dagang hanya mengacaukan kedua negara,” kata Richard Cooper, profesor ekonomi international dari Harvard University. Copper menegaskan, sanksi tarif sangat lemah dan tidak akan menurunkan defisit AS.
“Pembicaraan AS dan China tampaknya telah mandek. Namun, dua negara tak punya pilihan selain bekerja sama sehubungan dengan relasi ekonomi yang saling bertautan,” kata Michael Wessel, anggota U.S.-China Economic and Security Review Commission, 18 Desember 2017.
Jika skenario kolaborasi ini tidak muncul juga, hal yang sangat jelas adalah skenario buruk Trump untuk China tidak akan berlaku. Friksi ini justru akan mendorong China lebih kuat. “China sedang mengevaluasi kembali kapasitas nasionalnya, dan berpikir ulang strategi pembangunan. Derita jangka pendek mungkin perlu untuk meraih ‘mimpi-China’,” demikian dituliskan Sun Xi, kelahiran China, lulusan Kuan Yew School of Public Policy at the National di The Asia Times, edisi 7 September 2018.
Friksi ini justru akan mendorong China lebih kuat.
Perang dagang malah berpotensi menjadi sarana perubahan permainan dalam urusan geoekonomi dan geopolitik jika China semakin kuat secara ekonomi dan teknologi. Reformasi lebih pesat dan mendalam di China akan menjadi katalis untuk meroketkan China dan meraih posisi melebih kemampuan AS dari segi besaran ekonomi dan teknologi.
Posisi Indonesia
Karena itu, selain memikirkan efek jangka pendek, Indonesia juga harus turut berpikir soal efek friksi dagang AS-China. Indonesia harus sudah harus mengantisipasi untuk jangka panjang. Harus dipikirkan apa yang bisa dilakukan Indonesia untuk meraih manfaat besar dari kemajuan China itu.
Hanya saja, Indonesia tampaknya tidak terlalu memikirkan potensi besar ini. “Posisi Vietnam, Thailand lebih baik dari Indonesia soal kemampuan berkompetisi,” kata Sofjan Wanandi, seorang pengusaha. “Jangan-jangan Indonesia lebih sebagai korban, jadi pelemparan produk China yang terbanting tarifnya Trump," ditambahkan Sofjan.
Dalam konteks antisipasi kebesaran China ini, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, momentum ini idealnya menjadi pembuka lebar lebar mata Indonesia. Meski sayangnya, Anton mengaku belum melihat keseriusan Indonesia selama ini dalam menyusun strategi industri ke depan.
Indonesia tampaknya harus betul berubah dan berbenah. “Agar kita tidak begitu-begitu saja terus,” kata Anton. (AFP/AP/REUTERS)