Banyak orang bertanya, mengapa Perserikatan Bangsa- Bangsa tak mengirim pasukan ke Myanmar untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Sementara di sejumlah konflik di Afrika, lembaga itu mengirim tentara.
Pertanyaan itu muncul setelah ada temuan berbagai pihak, termasuk penyelidik PBB, bahwa terjadi pemusnahan etnis di Rohingya. Meski sudah ada pernyataan keras dari berbagai pihak, tak satu pun tentara dikirim PBB ke Myanmar. Sebaliknya, pada kasus pemusnahan etnis di Rwanda dan bekas Yugoslavia, PBB menempatkan pasukan. Mengapa ada perbedaan kebijakan?
Dalam kerangka kerja lembaga itu, pengerahan pasukan hanya bisa dilakukan atas persetujuan Dewan Keamanan PBB. Maka, isu harus dibahas terlebih dahulu di DK PBB sebelum sampai pada kesimpulan tindakan yang dibutuhkan. DK PBB dapat menjatuhkan sanksi, mengirim pasukan, atau tindakan lain yang dipandang perlu guna menyelesaikan konflik.
Pakar seperti Guru Besar Kajian Konflik Universitas Uppsala, Swedia, Peter Wallensteen, dan pakar hubungan internasional Institute for Policy Studies, Amerika Serikat, Phyllis Bennis, berpendapat relatif sama mengenai alasan sebuah isu dibawa ke rapat DK PBB. Keduanya menilai, kepentingan lima anggota tetap DK PBB—AS, Rusia, Perancis, Inggris, dan China—merupakan penentu utama suatu isu dibahas atau tidak.
Sebuah masalah lebih cepat dibawa ke rapat PBB jika berkaitan dengan kepentingan satu dari lima negara itu. Konflik Suriah, misalnya, cepat dibawa ke PBB karena melibatkan Rusia sebagai penyokong pemerintah dan AS bersama Inggris serta Perancis yang tak langsung mendukung oposisi. Berkali-kali isu Suriah dibahas dalam aneka rapat di PBB. Kalau bukan Rusia, kubu AS-Inggris-Perancis yang membawa masalah itu. Sebagian besar rapat buntu karena Rusia atau kubu AS menggunakan hak veto.
Dalam piagam PBB, lima anggota tetap DK PBB mempunyai hak membatalkan apa pun keputusan yang sudah disepakati anggota PBB lainnya. Tak ada keputusan bisa dibuat tanpa persetujuan pemegang hak veto.
Kemanusiaan
Para diplomat dan sejumlah pihak lain juga menyebut ada dua faktor penentu sebuah isu dibahas atau tidak di PBB. Faktor itu adalah ancaman pada tatanan internasional dan alasan kemanusiaan. Definisi ”alasan kemanusiaan” masih kerap diperdebatkan, tergantung dari lobi diplomat di Teluk Kura-kura, kawasan tempat PBB berkantor di New York, AS.
Pada piagam PBB diatur bahwa isu yang hendak dibahas DK PBB dapat diusulkan di Sekretariat Jenderal lalu ke Presiden DK PBB. Kursi Presiden DK PBB ini diduduki secara bergiliran oleh 10 anggota tidak tetap dan 5 anggota tetap DK PBB berdasarkan huruf depan nama setiap negara.
Indonesia yang terpilih sebagai anggota tidak tetap DK PBB akan mulai bertugas pada 1 Januari 2019. Indonesia berpeluang dua kali menduduki kursi presiden pada periode 2019-2020.
Negara yang menempati kursi Presiden DK PBB dapat mengatur isu yang akan dibahas di organ itu. Selanjutnya, untuk bisa dibahas, usulan isu harus disetujui minimal 9 dari 15 anggota DK PBB dan tak satu pun pemegang hak veto yang menolaknya.
Indonesia bisa saja mengusulkan pembahasan isu Rohingya atau isu lain di DK PBB. Isu Rohingya pernah dibahas di DK PBB dan hasilnya adalah desakan agar Myanmar menyelesaikan masalah Rohingya. Tak ada pembahasan mengenai pengiriman pasukan ke wilayah itu.