Proyeksi bahwa harga minyak akan menembus level 100 dollar AS per barel paling lambat awal tahun depan menyeruak pekan ini. Hal itu muncul setelah harga minyak naik ke level tertinggi sejak 2014, yakni di atas 80 dollar AS per barel. Situasi ini terjadi di tengah kekhawatiran bahwa penurunan tajam dalam ekspor minyak Iran karena sanksi baru AS akan memperdalam defisit minyak, bersamaan pula dengan penurunan produksi minyak di Venezuela.
Harga minyak melonjak lebih dari 2 persen ke level tertinggi empat tahun pada hari Senin (24/9/2018) setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak mengumumkan peningkatan produksi meski ada permintaan dari Presiden AS Donald Trump agar OPEC meningkatkan pasokan global. Bank of America Merrill Lynch bahkan bertanya-tanya, apakah lonjakan harga seperti pada 2008 akan segera terjadi.
Kondisi itu memicu spekulasi tentang arah harga minyak di masa depan. Para pedagang komoditas Trafigura dan Mercuria mengatakan bahwa harga minyak Brent bisa naik menjadi 90 dollar AS per barel pada Natal dan menembus harga 100 dollar AS pada awal 2019. Hal itu dinilai terkait kondisi pasokan yang akan mengetat setelah sanksi AS terhadap Iran sepenuhnya dilaksanakan mulai November tahun ini.
Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menilai kenaikan produksi di masa depan cukup terbuka karena pasokan semakin ketat. Itu diperkirakan akan terjadi seiring langkah AS memberlakukan sanksi terhadap minyak Iran, November tahun ini.
Harga minyak merangkak naik menuju kenaikan terpanjang sejak Juni 2008. Bloomberg menulis, tren kenaikan harga itu terjadi ketika konsumen sekali lagi menduga terjadi gangguan pasokan dan sekaligus mengkhawatirkan ketersediaan pasokan cadangan. Kondisi ini sama dengan yang terjadi pada satu dekade lalu ketika harga minyak mencapai harga tertinggi sepanjang waktu, yakni di atas level 147 dollar AS per barel.
Namun, kemudian muncul berita analisis bahwa Arab Saudi secara diam-diam bakal menambah produksi dan suplai minyak ke pasar selama beberapa bulan ke depan sebagai strategi mengimbangi penurunan produksi Iran. Hal itu tetap memicu kekhawatiran mengingat pembatasan produksi dirasa diperlukan pada tahun depan untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan global.
Riyadh bakal meningkatkan produksi 200.000-300.000 barel per hari pada September dan Oktober sebagai tambahan atas produksi 10,4 juta barel per hari pada Agustus. Ini untuk memenuhi permintaan tambahan klien, terutama di Asia.
Beberapa produsen dan pedagang minyak terbesar dunia memperingatkan bahwa harga tiga digit dapat segera kembali dengan konsekuensi negatif bagi perekonomian. ”Untuk saat ini pembeli tampaknya memegang kendali,” kata Ole Sloth Hansen, kepala strategi komoditas di Saxo Bank A/S di Kopenhagen, Denmark. ”Dukungan secara mendasar tetap, mengingat ketidakpastian yang terkait dengan kemampuan Iran untuk mempertahankan produksi,” kata Hansen.
Bank-bank, termasuk Bank of America Corp dan JPMorgan Chase & Co, tidak cukup optimistis atas harga minyak, tetapi juga menaikkan perkiraan mereka. Sementara BP Plc dan Total SA memperingatkan bahwa reli semacam itu akan merugikan permintaan, terutama karena ketegangan perdagangan AS-China yang meningkat.
Perlu katalis
Goldman Sachs mengakui bahwa kerugian terkait pasokan Iran telah meningkat lebih cepat dari yang diperkirakan, setelah turun sekitar 0,65 juta barel per hari sejak April lalu. Diperkirakan, kerugian bakal lebih banyak ketika sanksi AS terhadap ekspor minyak Iran mulai berlaku pada awal November nanti. Ekspor minyak Iran ke Eropa, Jepang, dan Korea Selatan telah jatuh. China pun telah memangkas beberapa pembelian dari Iran.
”Kami pikir katalis lain dari suplai di belakang Iran akan diperlukan sehingga harga akan tertahan,” kata Goldman Sachs dalam analisisnya. ”Secara khusus kami tetap memproyeksikan produksi dari produsen-produsen OPEC lain dan Rusia akan mengganti berkurangnya pasokan dari Iran,” ujarnya. Lembaga itu pun memproyeksikan harga minyak Brent akan kembali stabil dan bergerak di level 70-80 dollar AS per barel hingga akhir tahun ini.
Investor sekarang mengawasi apa yang akan dilakukan Trump selanjutnya setelah Menteri Energi AS Rick Perry mengesampingkan pelepasan minyak dari Strategic Petroleum Reserve. Ia mengatakan, langkah itu akan memiliki ”dampak yang cukup kecil dan jangka pendek.”
Pertanyaan kunci lain adalah soal waktu dan besarnya potensi peningkatan suplai yang diambil OPEC dan negara-negara produsen lain. Berkaca dari pengalaman sebelumnya, OPEC memiliki kecenderungan bereaksi terhadap penurunan produksi daripada menguranginya. Maka, keputusan terakhir untuk tidak melakukan apa pun seharusnya tidak terlalu mengejutkan. Meski demikian, terbuka kemungkinan terjadi lonjakan harga karena respons OPEC dirasa terlalu lama oleh pelaku pasar.