Pertumbuhan sektor manufaktur China pada September melemah dari yang diperkirakan. Hal itu dinilai menunjukkan penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat mulai memberikan efek.
BEIJING, MINGGU Indeks manufaktur Purchasing Managers’ Index China yang dirilis Biro Statistik Nasional pada Minggu (30/9/2018) menunjukkan angka yang berada di level terendah dalam tujuh bulan terakhir, yakni di 50,8 pada September, atau turun dari posisi Agustus di 51,3. Pesanan ekspor baru juga terkontraksi untuk empat bulan berturut-turut, dengan angka sub-indeks yang turun secara bulanan dari 49,4 menjadi 48,0 pada September.
Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) yang berada di level 50 menunjukkan adanya konstraksi yang bertambah dalam kurun waktu 26 bulan terakhir. Angka itu lebih dalam dari
survei yang digelar Reuters yang memperkirakan indeks PMI
pada September berada di level 51,2. Adapun pesanan ekspor adalah salah satu indikasi atas proyeksi aktivitas di masa mendatang.
Sebagaimana diwartakan sebelumnya, Amerika Serikat dan China saling menerapkan perang tarif terbaru atas ekspor dari kedua pihak pada 24 September lalu. Hal itu menjadi eskalasi teraktual oleh dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Bahkan, Washington masih mengancam sekaligus menyiapkan aneka tarif yang jika diberlakukan berarti mengenai seluruh ekspor China ke AS.
Meskipun data ekspor resmi China sejauh yang tercatat terakhir tetap menunjukkan ketahanannya atas ”gempuran” tarif AS, sejumlah analis percaya perusahaan-perusahaan telah mempercepat pengiriman barang-barang mereka ke pasar AS.
Hal itu menjadi pertanda bahwa mereka pun terefek secara langsung atas penerapan tarif oleh Washington. Penurunan pesanan ekspor menjadi salah satu bukti dugaan itu.
Kota ataupun provinsi utama di China terlihat mulai merasakan gejala-gejala dari dampak penerapan tarif AS.
Guangdong, provinsi yang produk domestik brutonya terbesar di China, misalnya, dilaporkan telah mengalami penurunan ekspor pada delapan bulan pertama 2018 dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Permintaan di China telah melemah sebelum genderang konflik dagang ditabuh oleh Washington. Hal itu antara lain tampak dari peningkatan risiko utang jangka panjang sekaligus biaya yang harus ditanggung perusahaan-perusahaan di China.
Pertumbuhan investasi aset-aset tetap juga terpuruk ke level terendahnya.
Para pemangku kepentingan di China mencoba mengalihkan fokus dalam beberapa bulan untuk menumbuhkan kembali perekonomian sekaligus mengalihkan efek perang dagang dengan AS. Pemerintah antara lain memangkas biaya-biaya keuangan, menggelontorkan pendanaan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, memotong pajak-pajak, dan mempercepat lebih banyak proyek infrastruktur.
Namun, menurut para analis pasar, perlu lebih banyak waktu untuk melihat efek—negatif ataupun positif—bagi perekonomian China. Beberapa analis memproyeksikan sejumlah hal di China akan mengalami fase yang lebih buruk terlebih dahulu sebelum mencoba untuk pulih.
Data impor
Sementara itu, data sub-indeks impor yang dilihat sebagai petunjuk dari kondisi permintaan domestik di China menunjukkan kenaikan tipis. Pada September tahun ini, angkanya berada di 48,5 setelah sebulan sebelumnya berada di level terendah dalam satu tahun terakhir.
Data lain menunjukkan sub-indeks produksi China pada September menempati level 53,3 dari posisi sebulan sebelumnya di level 53,0. Data sub-indeks pesanan baru terpantau turun dari level 52,2 menjadi 52,0.
Survei sejenis yang dirilis NBS pada Minggu menunjukkan pertumbuhan di bidang jasa di China pada September terlihat membaik. Data non-manufaktur PMI menanjak dari 54,2 pada Agustus menjadi 54,9 bulan September.
Peningkatan itu menunjukkan adanya semacam bantalan bagi perekonomian China yang melambat, mengingat sektor jasa menyumbang lebih dari separuh bagi perekonomian negara itu. Peningkatan upah warga ikut mendorong daya beli konsumen. (AFP/REUTERS/BEN)