Sepekan terakhir ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa menggelar hajat tahunan Sidang Majelis Umum. Lebih dari 130 negara—PBB beranggotakan 193 negara—mengirimkan utusan, dari kepala negara, wakil presiden atau wakil perdana menteri, hingga menteri. Jika jumlah kehadiran utusan negara menjadi ukuran, sidang tahun ini lebih sukses daripada tahun lalu. Tahun 2017, sebanyak 115 negara mengirimkan utusan.
Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti anggapan banyak kalangan, sidang itu tak lebih ”sajian bualan” (talking shop) para pemimpin negara. Setiap utusan negara diberi kesempatan berpidato, menyampaikan pandangan tentang isu-isu global. Namun, tak banyak gagasan yang muncul di sidang itu yang ditindaklanjuti oleh PBB.
Pidato para pemimpin negara dibatasi maksimal 15 menit. Namun, sebagian besar mengabaikannya. Presiden Venezuela Nicolas Maduro, yang sebelumnya dikecam Presiden Amerika Serikat Donald Trump melalui pidato di hari pertama, berpidato 50 menit.
Dari pengamatan saat menghadiri dan melihat langsung suasana Sidang Majelis Umum PBB di New York, pada 2017, pidato-pidato selepas pemaparan oleh presiden AS umumnya tak banyak diperhatikan, kecuali oleh para delegasi yunior dan media dari negara pemimpin yang berpidato. Berbeda dari
Dewan Keamanan, Majelis Umum—satu dari enam organ utama PBB—memang memberikan ruang bagi negara-negara kecil dan kelompok-kelompok negara untuk mengekspresikan aspirasi mereka. Di forum itu juga semua negara anggota PBB berposisi sama, nilai suara mereka dalam voting juga setara.
Resolusi Majelis Umum berguna, misalnya, untuk menetapkan lembaga internal atau kegiatan PBB. Voting di forum itu dibutuhkan untuk menetapkan anggota tidak tetap DK, semua anggota Dewan Ekonomi dan Sosial (Ecosoc), sekretaris jenderal, dan 15 hakim Mahkamah Peradilan Internasional (ICJ). Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk keempat kalinya (2019-2020) juga melalui voting di Majelis Umum. Majelis Umum juga menetapkan negara anggota baru.
Namun, berbeda dari DK, resolusi Majelis Umum tidak mengikat. Contoh paling segar ialah resolusi Majelis Umum menolak pengakuan AS terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel lewat voting, Desember 2017. Meski resolusi didukung 128 negara (hanya 9 negara menolak, dan 35 abstain), AS tak menggubris. Pada Mei lalu, AS bahkan memindahkan kantor kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Catatan ini tak bermaksud mengatakan sidang tahunan di Majelis Umum tidak berguna. Dari ajang tahunan itu, pemimpin ataupun delegasi antarnegara bisa menggelar pertemuan bilateral tanpa repot menentukan jadwal atau tempat pertemuan. Boleh jadi, hasil lebih konkret dipetik dari forum bilateral atau pertemuan di luar Sidang Majelis Umum.
Hal lain yang perlu digarisbawahi dari keberadaan forum PBB, di tengah kritik atas ketidakmampuan badan dunia itu menyelesaikan sejumlah konflik, PBB tetap menghadirkan spirit kerja sama internasional, pendekatan dialog, dan keyakinan terhadap forum multilateral. Spirit yang kini terancam pendekatan anti-multilateral dan isolasionisme yang diusung AS.
Di tengah situasi itu, mulai Januari 2019, Indonesia menjalankan mandat sebagai anggota tidak tetap DK PBB. Tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Namun, sebagai pengejawantahan konstitusi UUD 1945, tanggung jawab itu harus dipikul. Selamat bertugas.... (MH SAMSUL HADI)