OTTAWA, SELASA -Parlemen Kanada, Selasa (2/10/2018), mencabut status warga kehormatan yang pernah diberikan kepada Aung San Suu Kyi. Pemimpin Myanmar ini merupakan orang pertama yang dicoret sebagai warga kehormatan.
Keputusan ini dijatuhkan setelah majelis tinggi pada pekan lalu secara aklamasi meluluskan keputusan dari majelis rendah. Suu Kyi dianggap melakukan kesalahan dengan menolak menyebut tindakan militer terhadap minoritas Rohingya merupakan sebuah kejahatan.
Sebelumnya, parlemen Kanada pada bulan lalu menyatakan kekejaman yang dilakukan terhadap etnis Rohingya merupakan sebuah pembasmian etnis. Hal ini senada dengan laporan yang disampaikan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kejahatan militer terhadap etnis Rohingya.
Sekitar 700.000 orang, tahun lalu, terpaksa melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh, setelah militer melakukan kekerasan di luar batas terhadap warga Rohingya. Ribuan korban meninggal karena pembunuhan, kekerasan seksual, dan pembakaran oleh aparat.
Diberikan pada 2007
Aung San Suu Kyi (73) mendapat warga kehormatan dari Kanada pada 2007 karena upayanya mewujudkan demokrasi dan HAM di negaranya. Penghargaan yang diberikan lebih bersifat simbolis untuk orang asing. Mantan pejuang pembebasan Myanmar ini merupakan satu dari enam orang yang secara khusus menerima penghargaan itu dari Kanada. Tokoh lain mendapat penghargaan serupa, antara lain, adalah Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Malala Yousafzai.
Sebagai warga kehormatan, mereka tidak disumpah juga tidak mendapat hak-hak atau privilese tertentu. Namun, penghormatan ini cukup bergengsi karena diberikan hanya kepada orang-orang tertentu dan tidak dikeluarkan secara berkala.
Suu Kyi yang kini jarang bicara kepada publik pernah juga mendapat Nobel Perdamaian pada 1991. Penghargaan ini diberikan karena peranannya yang gigih dalam mengampanyekan demokrasi di negeri yang selama beberapa dekade diperintah oleh rezim militer.
Belakangan panitia Nobel di Swedia sempat memperbincangkan kemungkinan untuk menarik penghargaan setelah adanya peristiwa kekerasan dan genosida di Negara Bagian Rakhine. Namun, Yayasan Nobel akhirnya memutuskan untuk tidak menarik apa yang sudah pernah diberikan kepada perempuan Myanmar ini. Namun, pihak yayasan di Stockholm menyesalkan apa yang dilakukan Suu Kyi sebagai pemimpin sipil saat ini. ”Kami melihat apa yang dia lakukan di Myanmar telah banyak dipertanyakan dan kami membela hak asasi, itu merupakan nilai utama kami,” kata Lars Heikensten, dari Yayasan Nobel.