Menjelang aktif sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa periode tahun 2019-2020 pada Januari 2019 nanti, Pemerintah Indonesia mulai mengambil langkah-langkah persiapan. Selain mulai turut dalam berbagai pertemuan anggota Dewan Keamanan pada Oktober ini, Indonesia pun telah menawarkan sejumlah gagasan.
Salah satu wacana yang telah disuarakan Indonesia di sela-sela Sidang Umum PBB akhir September lalu adalah penambahan personel perempuan penjaga perdamaian. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan, saat ini, dari sebanyak 4.000 anggota pasukan perdamaian, hanya terdapat sekitar 3 persen personel perempuan.
Di tengah konflik yang masih banyak terjadi di beberapa wilayah di dunia, dengan korban paling rentan adalah anak-anak dan perempuan, keterbatasan jumlah personel perempuan menjadi perhatian. Untuk itu, Indonesia mengusulkan perlunya penambahan jumlah personel perempuan penjaga perdamaian. Bahkan, Indonesia membuka opsi, personel perempuan itu tidak harus berasal dari kalangan militer.
Menurut Retno, kehadiran personel perempuan—selain karena sosoknya yang memelihara, lembut, dan penuh kasih—penting bagi efektivitas mandat perlindungan sipil dalam konflik bersenjata. Dalam isu yang tak kalah keras, seperti terorisme dan radikalisme, Indonesia melihat ”kekuatan perempuan” sebagai energi yang mampu untuk melawan itu.
Dalam Forum Kontraterorisme Global (GCTF) di New York, Retno mengatakan, meskipun banyak pihak prihatin karena pelibatan perempuan dan anak-anak dalam serangan teror, ada harapan bahwa di pundak perempuan upaya-upaya deradikalisasi dan langkah-langkah melawan terorisme dapat disandangkan.
Merujuk dari bermacam upaya yang digalang berbagai pihak di Indonesia, salah satunya Wahid Institute dengan pengembangan Desa Damai, perempuan memiliki potensi besar menjadi agen perubahan.
Retno menegaskan, kekuatan utama yang dimiliki oleh personel perempuan adalah sikap ngemong. Sikap ngemong adalah sikap yang merefleksikan tindakan memelihara, mengayomi, dan mendampingi, yang menghadirkan suasana menghidupkan dan menenangkan serta memberi harapan.
Akan tetapi, di sisi lain, dunia pun dapat belajar dari sikap ”diam” Aung San Suu Kyi, perempuan peraih Nobel Perdamaian dan penggerak demokrasi Myanmar. Sikapnya yang berlawanan dengan keutamaan keperempuanan justru membuat nasib warga Rohingya yang teraniaya makin terlunta-lunta.
Melihat itu, di tengah kecamuk perang, konflik, dan perebutan kekuasaan, ada tuntutan yang semakin kuat untuk menghadirkan sikap ngemong, yang tentu bukan semata milik perempuan.