Duduk di bangunan yang terbuat dari ban bekas, botol plastik, dan sepatu-sepatu bekas, Roeun Bunthon menulis catatan dalam pelajaran Bahasa Inggris di sekolahnya. Sekolah tempat ia belajar dijuluki ”sekolah sampah”. Di sekolah ini, Bunthon dan siswa-siswa lain membayar uang sekolah dengan sampah, bukan uang tunai.
Mereka mengikuti kelas komputer, matematika, dan bahasa. Para siswa itu juga bisa belajar bagaimana mengurangi limbah di negara mereka yang tercemar polusi dan tidak memiliki upaya daur ulang. ”Saya sudah berhenti mengemis, rasanya saya punya kesempatan lain,” kata Bunthon yang membayar uang pendaftaran sekolahnya dengan sekantong tutup botol bekas.
Sekolah sampah itu terletak di Taman Nasional Kirirom, sekitar 115 kilometer di sebelah barat Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Hampir seluruh bangunan sekolah ini dibangun dari limbah daur ulang. Dinding kelasnya terbuat dari ban mobil yang dicat dan pintu masuknya dihiasi dengan mural bendera Kamboja yang seluruhnya terbuat dari tutup botol berwarna-warni.
Sebagian besar sampah itu berasal dari para siswa yang menyetor sampah sebagai biaya sekolah. Sekolah sampah ini dibuka 1,5 tahun lalu dan merupakan gagasan Ouk Vanday (34) yang dijuluki sebagai ”manusia sampah”. Ia adalah mantan manajer hotel yang memimpikan Kamboja bebas dari sampah. Saat ini, sekitar 65 anak terdaftar di sekolah yang dikelolanya.
”Saya menggunakan sampah untuk mendidik anak-anak. Dengan mengubah sampah menjadi ruang kelas, anak-anak akan memahami nilai menggunakan sampah dengan cara yang bermanfaat,” kata Vanday.
Ia berencana memperluas kelas-kelas di area miskin di Provinsi Kampong Speu untuk mengakomodasi 200 anak. Kelas taman kanak-kanak juga akan dibangun dengan dinding yang terbuat dari botol plastik. Kelas ini akan dibuka tahun depan.
Vanday optimistis, para siswa di sekolahnya akan bisa menjadi duta lingkungan. ”Kami berharap mereka akan menjadi aktivis baru di Kamboja. Mereka bisa memahami penggunaan, manajemen, dan daur ulang limbah,” katanya.
Inspirasi tentang pengelolaan sampah itu didapatkan Vanday setelah dia berkeliling Kamboja. Ia melihat lokasi-lokasi wisata di negaranya dipenuhi sampah. Vanday mendirikan proyek percontohan di Phnom Penh pada 2013 dan kemudian memperluasnya ke lokasi kedua di Taman Nasional Kirirom.
Visi ambisius
Visi Vanday agar warga Kamboja sadar akan bahaya sampah adalah visi yang ambisius di negaranya. Warga Kamboja biasa membuang kantong plastik dan botol bekas begitu saja tanpa pikir panjang. Banyak limbah plastik dan botol menumpuk di kota-kota, juga di pantai-pantai yang dulunya indah.
Menurut Neth Pheaktra, juru bicara Kementerian Lingkungan Hidup Kamboja, negeri itu mengakumulasi 3,6 juta ton limbah pada tahun 2017. Hanya 11 persen sampah yang didaur ulang. Sementara hampir setengahnya dibakar atau dibuang ke sungai sehingga menyebabkan polusi yang luas.
Sisanya diangkut ke tempat pembuangan sampah. Akibatnya, tumpukan sampah di tempat-tempat pembuangan sampah terus bertambah. Tumpukan sampah itu mengeluarkan gas metana yang dapat menyebabkan kebakaran tak terduga dan berbahaya serta menambah masalah perubahan iklim.
Dampak buruk sampah inilah yang menginspirasi Vanday mendirikan sekolah sampah. Sekolah ini bisa berdiri karena adanya donasi dan guru sukarelawan. Di sekolah itu, para siswa diajar mendaur ulang limbah sampah. Ini berbeda dari anak-anak Kamboja di sekolah reguler milik negara yang umumnya hanya mendapat sedikit mendapat pendidikan tentang lingkungan.
Di sekolah sampah itu, anak-anak juga mendapat materi-materi pelajaran di luar pelajaran utama. Materi itu biasanya hanya bisa diperoleh di lembaga-lembaga kursus yang membutuhkan biaya mahal. Pendidikan umum memang gratis di Kamboja. Namun, pelajaran tambahan, seperti Bahasa Inggris atau mata pelajaran ekstrakurikuler lain, memerlukan biaya tambahan, mulai dari 5 dollar AS (Rp 75.000) per kelas hingga ratusan dollar AS, tergantung pada sekolah dan lokasinya.
Biaya pelajaran tambahan ini tentu memberatkan warga Kamboja yang rata-rata berpenghasilan di bawah 1.400 dollar AS (Rp 21 juta) per tahun. Bahkan, di keluarga miskin di daerah terpencil, anak-anak kerap disuruh mengemis guna menambah pendapatan keluarga mereka. Oleh karena itu, Vanday menetapkan para siswanya bisa membayar dengan sampah.