FRANKFURT, SABTU -- Para pebisnis Jerman mulai kehilangan kesabaran dengan berlarut-larutnya proses negosiasi Brexit menjelang waktu penentuan yang kurang dari enam bulan lagi. Mereka memperingatkan tingginya risiko tidak tercapainya kesepakatan antara pihak Uni Eropa dan Inggris.
”Eropa harus menghentikan skenario terburuk Brexit,” demikian dikatakan Joachim Lang, Direktur Federasi Industri Jerman (BDI), pekan lalu.
Ia mengingatkan, ”Tetap ada kemungkinan bahwa pemisahan Inggris dari Uni Eropa (UE) akan berakhir tanpa kesepakatan atau perjanjian transisi atau klarifikasi atas masa depan hubungan kedua pihak.”
Mereka memperingatkan tingginya risiko tidak tercapainya kesepakatan antara pihak Uni Eropa dan Inggris.
Nasib 50.000 pekerjaan, menurut BDI, bergantung langsung pada bisnis dengan Inggris. Di bidang keuangan, negara dengan perekonomian terbesar di
Eropa itu memiliki nilai ekspor 84,4 miliar euro (97,4 miliar dollar AS) ke Inggris sepanjang 2017.
Nilai itu menjadikan Inggris sebagai pelanggan terbesar kelima Jerman. Adapun nilai ekspor Inggris ke Jerman mencapai 37,1 miliar euro (42,6 miliar dollar AS).
Maka, diingatkan bahwa negosiasi dan hasilnya antara UE dan Inggris bukan sesuatu yang main-main, termasuk untuk Jerman. Menurut Lang, Brexit tanpa kesepakatan akan menjadi bencana yang dapat menimbulkan kesulitan besar bagi puluhan ribu perusahaan dan ratusan ribu pekerja di kedua pihak.
Brexit tanpa kesepakatan akan menjadi bencana yang dapat menimbulkan kesulitan besar bagi puluhan ribu perusahaan dan ratusan ribu pekerja di kedua pihak.
Sebagaimana diwartakan, juru runding Inggris dan Uni Eropa melakukan negosiasi tertutup di Brussels selama sepekan untuk mempersempit perbedaan dalam isu perbatasan Irlandia Utara. Masalah perbatasan Irlandia Utara merupakan ganjalan besar yang masih tersisa ketika hampir semua isu lain sudah disetujui kedua belah pihak.
Pada intinya, UE dan Inggris berkeinginan perbatasan Irlandia tetap terbuka seperti sekarang, yaitu tanpa pos penjagaan militer. Namun, belum ditemukan solusi bagaimana penerapannya karena kedua pihak saling berpegang pada kedaulatannya.
Uni Eropa menawarkan agar Irlandia Utara diberi perlakuan khusus. Warga dan produk dari wilayah yang merupakan bagian Inggris itu tetap masuk dalam sistem bea cukai UE. Inggris menolaknya karena tidak menginginkan ada dua sistem bea cukai dalam satu negara.
Menambah tekanan atas proses itu, Komisi Eropa pada pekan lalu mengatakan, pihaknya membuat rencana untuk mengatasi skenario tanpa kesepakatan. Meskipun demikian, sejumlah pelaku bisnis telah menyiapkan rencana antisipatif.
”Jika Inggris menjadi ’negara ketiga’ (yang kehilangan keanggotaan dari pasar tunggal UE), hal itu bukan masalah, kami sudah bekerja sama dengan 50 negara ketiga,” tutur Samia Zimmerling, Kepala Administrasi Ekspor Delta Pronatura, produsen pembersih dengan operasional di Jerman dan Inggris.
Namun, tetap saja disayangkan negosiasi cenderung berlangsung berlarut-larut. Kondisi itu dinilai menunda aneka penyesuaian konkret yang harus dilakukan perusahaan terhadap pengaturan perdagangan baru. Salah satunya ialah sistem teknologi informasi yang rumit.
Zimmerling dan sekitar 200 pebisnis lain menghadiri konferensi yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri Frankfurt (IHK).
Para bankir dan politisi lokal berharap ditariknya bisnis perbankan dari London menyusul Brexit. Grup lobi Frankfurt Main Finance pada pekan lalu menghitung 26 perusahaan keuangan tengah menghitung ulang opsi-opsi bisnis mereka.
Alexander Schroeer dari Cuta Solutions, perusahaan penasihat perdagangan internasional, lebih pesimistis. Ia menilai negosiasi lebih terasa politis dibandingkan dengan urusan bisnis riil.