Pada saat berlangsung perang dagang antara China dan Amerika Serikat, berbagai media melaporkan pelanggaran hak asasi atas warga Uighur di Xinjiang, China barat. AS mempertimbangkan sanksi terkait pelanggaran hak asasi itu.
Xinjiang adalah rumah bagi 10 juta warga Uighur Turki yang umumnya Muslim. Mereka menyandang stigma ganda, yakni minoritas dari sisi etnis dan agama di China. Warga Uighur menempati bagian rute penting Prakarsa Sabuk dan Jalan yang digagas oleh Presiden Xi Jinping.
Laporan menyebutkan, otoritas Xinjiang mengesahkan pengiriman warga Uighur ke ”pusat-pusat pelatihan kejuruan” (vocational training centers).
Xinjiang adalah rumah bagi 10 juta warga Uighur Turki yang umumnya Muslim.
Fasilitas itu digunakan untuk ”mendidik dan mengubah” warga yang terjangkiti ideologi ekstrem. Peresmian pusat pelatihan itu menguatkan dugaan lama Uni Eropa dan AS tentang praktik penahanan paksa warga Uighur. Barat menamai ”pusat-pusat pelatihan kejuruan” itu sebagai ”kamp-kamp tahanan paksa”.
Kelompok hak asasi manusia (HAM), termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, memberikan laporan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tuduhan penahanan massal di kamp-kamp tersebut. Komite HAM PBB baru-baru ini yakin, China telah menahan lebih dari 1 juta warga Uighur. Mereka yang diduga terjangkit ideologi ekstrem digiring ke kamp-kamp.
Beijing, lewat berbagai saluran, termasuk para diplomatnya, menyangkal semua tuduhan mengenai kamp tahanan paksa. Ditegaskan, fasilitas itu tidak pernah ada. China juga menuding AS hendak mengganggu kebijakan keamanannya setelah Kongres AS mengatakan penahanan massal warga Uighur tanpa proses hukum adalah ”kejahatan terhadap kemanusiaan”.
China juga menuding AS hendak mengganggu kebijakan keamanannya setelah Kongres AS mengatakan penahanan massal warga Uighur tanpa proses hukum adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebagian warga Uighur dianggap masalah karena dinilai tidak loyal terhadap Beijing. Mereka terus memperjuangkan kemerdekaan walaupun selalu gagal. Situasi di Xinjiang juga bisa mengganggu kelancaran pelaksanaan Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Warga China disebut bebas untuk memeluk agama dan mempraktikkan ritual apa pun berdasarkan keyakinan mereka. Namun, sejumlah laporan menyebutkan, kaum Uighur, seperti minoritas lainnya, hidup di bawah pengawasan ketat.
Hubungan kurang harmonis antara pemerintah pusat dan penduduk Xinjiang ini memburuk sejak berlangsung protes oleh warga Uighur yang berujung kerusuhan pada 2009. Dilaporkan, ada ratusan orang diculik dan tewas dalam bentrokan dengan aparat.
Penindasan yang meningkat mendorong resistensi lebih lanjut. Dalam hampir satu dekade, beberapa serangan teroris yang mematikan terjadi di Xinjiang.
Ancaman serius dari kelompok militan dan separatis menjadi alasan untuk membenarkan pengetatan pembatasan hak-hak dan kebebasan warga Uighur.
Kate Cronin-Furman, dosen HAM di Departemen Ilmu Politik Universitas College London, Inggris, mengatakan, untuk saat ini, China lebih memilih melakukan ”genosida budaya” terhadap warga Uighur.
Tidak seperti genosida ”fisik”, tidak ada pembantaian dalam ”genosida budaya”, selain penghapusan identitas. ”Sangat sulit menghancurkan orang tanpa membunuhnya, tetapi China mau melakukannya,” tulis Cronin-Furman di Foreign Policy, 19 September 2018.