Mengintip Bandara Tersibuk Se-Asia Pasifik
Dengan rata-rata 1.200 penerbangan sehari, Bandara Internasional Hong Kong pulih dari amukan topan Mangkhut hanya dalam waktu sehari. Kemampuan untuk pulih dari bencana itu menjadi kebanggaan staf pengelola salah satu bandara tersibuk di kawasan Asia Pasifik, bahkan dunia, itu.
Salah satu anggota staf humas Bandara Internasional Hong Kong, Cari TY Mok (25), menceritakan pengalamannya saat topan Mangkhut menghantam Hong Kong pada 15-16 September dengan puncaknya pada 16 September. ”Hari itu tak ada penerbangan di sini, sekitar 1.000 penerbangan dibatalkan dan dijadwalkan ulang. Namun, kami para anggota staf tetap masuk,” katanya saat menemui kunjungan PT Angkasa Pura I di Hong Kong, Sabtu (22/9/2018).
Pada hari itu, seluruh Hong Kong lumpuh. Warga diliburkan dan diminta tetap tinggal di dalam ruangan. Amukan topan Mangkhut kali ini berkekuatan maksimal atau kekuatan 10.
”Ini topan terparah di Hong Kong dalam 30 tahun terakhir. Mungkin lebih karena selama 40 tahun di sini saya belum pernah mengalami topan lebih parah,” kata Lie Sung Ing (78), warga Hong Kong kelahiran Bogor, Jawa Barat.
Berbeda dengan warga yang libur, staf bandara Hong Kong tetap masuk. Apalagi, waktu operasional bandara itu 24 jam. Menghindari bencana, mereka datang awal sebelum topan menerjang.
Sepekan setelah amukan badai topan itu, sisa-sisa kerusakan masih terlihat di sudut-sudut Hong Kong. Pepohonan yang tumbang belum sepenuhnya dibersihkan. Pemandangan ini tak berlaku di Bandara Internasional Hong Kong. Tak terlihat jejak Mangkhut di sana.
Pada 17 September, tepat di pagi pertama Mangkhut reda, bandara itu langsung sibuk dengan kerja lembur. Mereka memberangkatkan sekitar 1.000 penerbangan dari penjadwalan ulang penerbangan yang dibatalkan sehari sebelumnya.
”Tanggal 18 September besoknya, kami sudah beroperasi seperti biasa,” kata Thomas Li (30), salah satu petugas operasional Bandara Internasional Hong Kong.
Memasuki bandara itu setelah penerbangan 5,5 jam dari Jakarta, kesan bandara tersibuk di Asia Pasifik itu tak terasa. Bandara yang menerima penumpang 74,2 juta orang setahun terakhir itu tetap nyaman dan lega karena pergerakan orang yang begitu efisien dan tertata. Tak terlihat antrean berarti dan kesan penumpang berjubelan.
Sebagai gambaran, bandara tersibuk di Indonesia juga mempunyai jumlah penerbangan hampir sama dengan jumlah penumpang sekitar 65 juta orang dalam setahun.
Kesan mudah dan nyaman ini terasa sejak keluar dari pesawat. Penumpang warga negara asing yang datang tak perlu berlama-lama mengantre untuk memperoleh visa on arrival di imigrasi karena mereka sudah menerapkan sistem imigrasi terdigitalisasi.
Proses ini selesai hanya dalam 15 menit sejak turun dari pesawat hingga warga asing melenggang memasuki teritorial Hong Kong.
Bandingkan dengan proses imigrasi manual visa on arrival di Bandara Kathmandu di Nepal, misalnya. Di sana, antrean dan prosesnya bisa sampai sekitar 1,5 jam. Tentu sangat melelahkan setelah penerbangan berjam-jam.
Begitu juga pengambilan bagasi, tak perlu menanti lagi. Ratusan koper sudah menanti di konveyor sebelum pemiliknya tiba.
Di sejumlah bandara di tanah air, menunggu bagasi merupakan salah satu hal yang melelahkan karena tak jarang penumpang menunggu lama.
Jutaan ton kargo
General Manager Kerja Sama Bandara dan Industri Otoritas Bandara Hong Kong Michael Yuen mengatakan, tidak hanya penumpang, bandara itu juga memproses kargo dalam jumlah besar, yaitu mencapai 5,1 juta ton setahun terakhir. ”Hong Kong adalah bandara kargo tersibuk di seluruh Asia Pasifik.
Kami hanya sedikit di bawah Bandara Heathrow, hampir sama,” katanya saat memberikan penjelasan dalam kunjungan PT Angkasa Pura I itu.
Ia mengatakan, bandara itu menerapkan beragam sistem terdigitalisasi di berbagai bidang serta pengelolaan arus barang dan penumpang dengan saksama agar bandara bisa tetap memberi kenyamanan bagi para penumpang, tanpa menurunkan sistem keamanannya.
Seluruh sistem ini dikelola dari sebuah ruangan kendali yang disebut ruang kontrol yang keamanannya begitu ketat dijaga. Tak sembarang orang bisa masuk ke ruangan berukuran 30-40 meter persegi itu. Di ruangan itu terdapat layar-layar besar yang menayangkan secara langsung kegiatan bandara di terminal penumpang, terminal kargo, hingga di landasan pacu.
Masih ada puluhan layar komputer kecil dengan puluhan petugas yang ketat mengawasinya sepanjang waktu. Layar-layar komputer itu memperlihatkan gambar dari kamera pemantau (CCTV) hingga grafik dan data.
Satu orang bisa mengawasi tiga layar komputer sekaligus sekali waktu, sementara di satu layar komputer terbagi atas belasan tayangan berbeda dari kamera-kamera pemantau. ”Ruangan ini aktif 24 jam, tak pernah berhenti,” kata Thomas menjelaskan.
Di sana juga ada satu bagian dengan meja bundar dengan banyak monitor dan mikrofon. Bagian itu disebut ruang krisis yang aktif setiap kali ada kejadian besar.
Salah satunya saat topan Mangkhut menerjang, ruang krisis itu menjadi ruang pertemuan untuk mengatasi dampaknya. ”Di sini berkumpul pemerintah, pihak bandara, hingga perwakilan perusahaan maskapai dan media massa,” ujar Thomas.
Lahan reklamasi
Selain menggunakan beragam teknologi canggih, kenyamanan Bandara Internasional Hong Kong juga karena luasnya terminal. Bandara itu merupakan bandara yang baru digunakan pada 1998, pindahan dari bandara lama Kai Tak yang berada di pusat kota Distrik Kowloon.
Lahan yang digunakan merupakan lahan reklamasi yang menggabungkan pulau kecil Chek Lap Kok dengan pulau besar Lantau. Laut seluas 12,48 kilometer persegi di antara dua pulau itu diuruk sehingga menjadi lahan bandara yang kini digunakan. Lahan reklamasi itu menambah 1 persen luas wilayah Hong Kong.
Perencanaan reklamasi ini berlangsung sejak 1974. Tak sembarangan, para perancang memperhitungkan aspek teknis hingga dampak lingkungan dengan reklamasi tersebut. Sampai sekarang, pembangunan belum selesai. Bandara tersebut dirancang sebagai bandara dengan tiga landasan pacu. Saat ini baru dua landasan pacu terwujud. Sementara satu landasan pacu akan selesai pada 2024.
”Satu tambahan landasan pacu itu dirancang bisa menambah kapasitas penumpang hingga sekitar 100 juta orang setahun,” kata Michael Yuen.
Direktur Pemasaran dan Pelayanan PT Angkasa Pura I Devy W Suradji yang baru saja melewati bandara di Guang Zhou dan Hong Kong mengatakan, banyak hal terkait efektivitas manajemen lalu lintas penumpang dan barang dua bandara itu bisa dikembangkan di bandara-bandara yang dikelola Angkasa Pura I.
Beberapa di antaranya penitipan bagasi terdigitalisasi dan mengefisienkan check in penumpang dan barang dengan check in dari luar bandara (in town check in).
Jadi, tak perlu lagi antrean di bandara. Saat ini, antrean check in masih jadi faktor utama antrean di bandara Tanah Air.
Namun, untuk mewujudkan konsep ini, pengelola bandara juga harus memperoleh kerja sama dari pihak maskapai dan perusahaan logistik.
Hal yang terpenting, kata Devy, adalah mengubah pola pikir masyarakat. Saat ini pun sebenarnya sudah banyak mesin check in otomatis di bandara, tetapi sebagian besar penumpang Indonesia masih enggan menggunakannya.
Bahkan, pada bulan ini Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali sudah dilengkapi dengan mesin check in otomatis yang dilengkapi dengan timbangan barang. Jadi, penumpang tak perlu check in barang di konter.
Menurut Devy, ketangguhan bandara-bandara Tanah Air menghadapi bencana pun tak kalah dari bandara Hong Kong. Salah satunya terlihat di Bandara Lombok saat gempa terjadi. Saat itu, staf bandara sudah siap dengan transportasi untuk evakuasi penumpang hingga penjadwalan ulang pesawat.
Masalah utama bandara di bawah Angkasa Pura I saat ini memang keterbatasan ruang. Hal ini sulit diatasi. Reklamasi di Indonesia adalah pilihan yang sulit. Sebab, reklamasi berdampak lingkungan yang sangat besar karena kekayaan keragaman hayati laut Indonesia.
”Bagaimana mau reklamasi, laut sekitar Bali itu sudah jalur penyu bertelur. Di lokasi lain juga begitu, dampak lingkungan besar. Berbeda dengan Hong Kong waktu itu yang mungkin tak terlalu besar dari segi kelestarian lingkungannya,” ujarnya.
Tantangan yang berbeda antara Hong Kong dan Indonesia tentunya mempunyai solusi yang berbeda. Namun, kenyamanan terbang tidak hanya dari Hong Kong. Indonesia pun seharusnya bisa mewujudkannya.