WASHINGTON DC, RABU — Amerika Serikat akan membatalkan visa 21 warga Arab Saudi. Alasannya, mereka diduga terlibat pembunuhan jurnalis senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi.
”Hukuman ini bukan yang terakhir dalam masalah tersebut. Pemerintah akan terus mengejar pertanggungjawaban pada mereka yang terlibat. Kami membuatnya sangat jelas, AS tidak menoleransi tindakan keji untuk membungkam Khashoggi, seorang jurnalis, dengan kekerasan. Presiden dan saya tidak senang dengan situasi ini,” kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Selasa (23/10/2018) di Washington DC.
Departemen Luar Negeri AS menyebut, ada 21 warga Arab Saudi yang visa mereka dibatalkan, atau dilarang masuk ke AS. Tidak disebutkan siapa saja dalam daftar itu karena data visa adalah informasi rahasia.
Ancaman pelarangan masuk atau pembatalan visa itu merupakan reaksi terkeras AS dalam kasus Khashoggi, penduduk tetap AS yang dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki. Riyadh mengakui menahan 18 orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Ada pula 6 pejabat senior yang dicopot terkait kasus pembunuhan Khashoggi.
Meski mengancam, Pompeo tetap menekankan pentingnya hubungan AS-Saudi. ”Kami akan terus mengupayakan tercapainya perlindungan kepentingan AS dan mengejar pertanggungjawaban dari mereka yang terlibat pembunuhan Khashoggi,” ujarnya.
Presiden AS Donald Trump berpendapat sama dengan Pompeo. Meski menyatakan terganggu dengan pembunuhan Khashoggi, ia menolak menjatuhkan sanksi keras kepada Saudi. Ia tidak mau membatalkan transaksi persenjataan 110 miliar dollar AS dengan negara itu. Trump pun menolak menyalahkan Pemerintah Saudi dalam kasus itu. Menurut dia, Saudi merupakan sekutu penting bagi perwujudan agenda AS di Timur Tengah.
Trump kukuh pada sikapnya meski para politisi dari Partai Republik yang mendukungnya terus menekan agar ada sanksi pada Saudi. Sikap Trump berbeda dengan Kanselir Jerman Angela Merkel yang mengumumkan pembekuan transaksi senjata Jerman-Arab Saudi setelah Riyadh mengakui Khashoggi terbunuh di konsulat di Istanbul.
Pengakuan Riyadh disusul dengan pengumuman Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan soal kasus itu. Menurut Erdogan, pembunuhan Khashoggi direncanakan
dengan teliti. ”Intelijen dan badan keamanan memiliki bukti pembunuhan itu direncanakan. Mengatakan hal tersebut dilakukan oleh anggota intelijen tidak akan memuaskan kami dan komunitas internasional,” kata Erdogan merujuk pada pernyataan resmi Riyadh.
Menurut Erdogan, tiga ”pelaksana” tiba di Istanbul sehari sebelum pembunuhan terjadi. Orang-orang itu teridentifikasi datang dari Riyadh. Saat mereka datang, ada tim dari Konsulat Arab Saudi di Istanbul bergerak ke hutan Belgrad dan Yalova di selatan Istanbul.
Selanjutnya, pada 2 Oktober 2018, 15 orang datang ke konsulat. Mereka mematikan kamera pemantau sebelum Khashoggi datang pada siang hari. Mereka tetap di sana sampai Selasa sore.
Intelijen dan badan keamanan memiliki bukti pembunuhan itu direncanakan.
Semua orang ini terekam kamera pemantau bandara ketika meninggalkan Istanbul secara terpisah pada Selasa malam. ”Mengapa 15 orang ini bertemu di Istanbul pada hari pembunuhan? Siapa orang-orang ini dan siapa yang memberi perintah?” kata Erdogan yang tak menyinggung soal ”rekaman suara” yang disebut-sebut merekam pembunuhan yang biadab terhadap Khashoggi itu.
Erdogan meminta ekstradisi terhadap 18 orang yang ditangkap Riyadh dalam kasus pembunuhan Khashoggi. Mereka harus diadili di Istanbul karena pembunuhan terjadi di kota itu. ”Arab Saudi telah mengambil langkah penting dengan mengakui pembunuhan. Saat ini kita berharap mereka mengungkapkan siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya. (AP/REUTERS)