Ketika dunia gempar oleh kasus pembunuhan wartawan Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, empat pekan terakhir, para pejabat Iran memilih tutup mulut. Bahkan, meski sudah ada pengakuan Arab Saudi tentang pembunuhan Khashoggi pada 2 Oktober lalu, Teheran tidak lantas beramai-ramai ”menggoreng” isu itu untuk mempertebal permusuhan mereka dengan Arab Saudi.
Baru pada hari ke-20 setelah Khashoggi hilang di Istanbul, pejabat Iran mulai bersuara melalui Ketua Mahkamah Agung Sadegh Amoli Larijani. Teheran baru bersuara lantang menyoroti kasus Khashoggi, Rabu (24/10/2018), ketika Departemen Keuangan AS bersama Arab Saudi dan Bahrain menjatuhkan sanksi kepada Pasukan Garda Revolusi Iran, termasuk tiga pejabatnya, dengan tuduhan memberikan pelatihan serta pasokan keuangan dan logistik pada milisi Taliban di Afghanistan.
”Saya tidak melihat sebuah negara berani melakukan kejahatan seperti itu tanpa dukungan AS,” kata Presiden Hassan Rouhani dalam sambutan di sidang kabinet yang disiarkan televisi pemerintah, Rabu.
Respons Teheran terkait kasus Khashoggi terlihat lebih diarahkan pada Washington dibandingkan pada Riyadh. Hal ini tak lepas dari hubungan pahit Iran-AS sejak Revolusi Iran 1979 dan keputusan Presiden AS Donald Trump menjatuhkan sanksi ekonomi, termasuk larangan ekspor minyak Iran dan transaksi dengan Bank Sentral Iran, per 5 November mendatang.
Di mata Teheran, AS telah meninggalkan jejak-jejak hitam yang sulit dilupakan, yang membuat kacau di Iran. Dari keterlibatan Badan Intelijen Pusat AS (CIA) dalam kudeta PM Iran Mohammad Mosaddeq tahun 1953, dukungan AS kepada Saddam Hussein dalam Perang Irak-Iran 1980-1988, dan seterusnya hingga keluarnya AS dari kesepakatan nuklir 2015.
Kenneth M Pollack, mantan analis CIA dan Direktur Urusan Teluk Dewan Keamanan Nasional AS, menangkap kebencian Iran kepada AS dalam bukunya, The Persian Puzzle: The Conflict Between Iran and America (New York: 2004): ”Orang-orang yang memerintah Teheran hari ini secara reflektif meyakini selama 50 tahun, Pemerintah AS adalah jahat, sumber seluruh masalah di dunia dan penyebab utama seluruh masalah Iran.”
Keyakinan itu bertambah kuat terutama sejak Trump memimpin AS dalam dua tahun terakhir. Dalam pidato sambutan membuka tahun akademik di Universitas Teheran, 14 Oktober lalu, Rouhani secara blakblakan menuding rencana AS untuk meruntuhkan pemerintahannya di Iran. Sanksi ekonomi bagi Iran, yang berlaku mulai 5 November, salah satu buktinya.
Iran memiliki ketahanan nasional sangat kuat yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia, bahkan sampai sekarang.
Perbedaan sanksi AS kali ini dengan sanksi ekonomi Barat sebelum kesepakatan nuklir 2015 bahwa saat ini Iran masih mendapat dukungan Eropa. Uni Eropa telah menyiapkan mekanisme yang disebut special purpose vehicle (SPV) untuk memfasilitasi pembayaran terkait dagang dengan Iran.
Beberapa negara, seperti Turki, India, dan kemungkinan China, juga masih menegosiasikan dengan AS untuk mendapatkan pengecualian agar tetap bisa mengimpor minyak dari Iran.
Seberapa kuat daya tahan Iran menghadapi sanksi AS saat ini? Salah satu kesimpulan wartawan senior Indonesia, Nasir Tamara, yang mengikuti langsung peristiwa Revolusi 1979 dan mendokumentasikannya dalam buku Revolusi Iran (terbit 1980, cetak ulang 2017) bisa menjadi bahan refleksi.
Dari pengamatan langsung, berbagai wawancara dalam beberapa kali kunjungan ke Iran, serta pengumpulan informasi di kota-kota dan desa-desa di negeri itu, ia menyimpulkan, ”Iran memiliki ketahanan nasional sangat kuat yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia, bahkan sampai sekarang.”
Bagaimana dengan riak-riak protes sebagian rakyat Iran yang muncul awal tahun ini? Apakah protes semacam itu akan tumbuh lagi dan menggoyang pemerintahan Iran, seperti diinginkan AS? Melihat pengalaman dan daya tahannya, Iran bakal mampu menghadapi situasi ini.