Kunjungan Netanyahu dan Tabu Politik yang Didobrak Oman
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
Kesultanan Oman membuat kejutan besar dengan mengundang Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk berkunjung ke Muscat, ibu kota Oman, Kamis (25/10/2018) pekan lalu. Netanyahu hanya beberapa jam berada di Oman, bertemu Sultan Qaboos bin Said (78) yang berkuasa di Oman sejak tahun 1970.
Pertemuan puncak Netanyahu-Sultan Qaboos itu terjadi saat perundingan Palestina-Israel macet sejak April 2014. Hubungan Palestina dengan Israel dan AS kini juga semakin buruk pasca pengakuan Presiden AS Donald Trump terhadap Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Desember 2017, dan disusul pemindahan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, 14 Mei 2018.
Sultan Qaboos memang dikenal sangat berani menembus tabu politik dalam konteks geopolitik kawasan Timur Tengah. Hal itu bisa dilakukan Sultan Qaboos dan Oman karena negeri itu memiliki tradisi kuat menganut kebijakan politik sangat independen di percaturan geopolitik kawasan.
Oman tidak pernah terlibat politik kubu-kubuan di kawasan, dan selalu menolak berada di bawah hegemoni negara besar kawasan. Di tubuh organisasi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Oman selalu menolak didikte atau berada di bawah hegemoni Arab Saudi.
Itulah yang menyebabkan langkah berani Sultan Qaboos selalu tidak mengundang reaksi dari negara manapun, khususnya dua negara raksasa tetangga, yakni Arab Saudi dan Iran. Oman, yang berpenduduk sekitar 4,5 juta jiwa dan terletak di ujung tenggara jazirah Arab, pun bak negara unik di kawasan.
Oman tidak pernah terlibat politik kubu-kubuan di kawasan, dan selalu menolak berada di bawah hegemoni negara besar kawasan.
Negeri itu bisa menjalin hubungan baik dengan Arab Saudi, Iran, Qatar, dan Israel dalam waktu yang sama. Tak heran bila Oman dipilih menjadi tempat perundingan rahasia AS-Iran tentang senjata nuklir sehingga tercapai kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Muscat, ibu kota Oman, juga sering dijadikan tempat perundingan antara delegasi kelompok Houthi dan Arab Saudi guna mengakhiri perang Yaman saat ini. Israel juga selalu melirik Oman sebagai tempat untuk menembus kawasan Arab Teluk karena sikap netralitas dan independen negara itu, yang lepas dari pengaruh atau tekanan negara tetangga.
Itu sebabnya, di tengah buntunya perundingan Palestina-Israel saat ini dan kemarahan Palestina terhadap langkah AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel, Netanyahu berkunjung ke Oman. Sebelumnya, Oman juga tercatat sebagai pintu masuk Israel menembus kawasan Arab Teluk. Pada tahun 1994, setelah kesepakatan Oslo tahun 1993, mendiang PM Israel Yitzhak Rabin tercatat mengunjungi Oman. Pada tahun 1996, PM Israel Shimon Peres juga mengunjungi Oman.
Kini, dengan datang ke Oman, Israel lebih bisa memantau dan berada lebih dekat dengan semua negara Arab Teluk dan Iran. Israel juga bisa memantau lebih dekat pada berbagai perundingan politik di Oman yang melibatkan musuh-musuh Israel, seperti Iran dan kelompok Houthi dari Yaman. Oman terakhir ini diwacanakan lagi sebagai tempat perundingan AS-Iran tentang masa depan nuklir Iran jika Teheran bersedia berunding dengan pemerintah Presiden Trump.
Bahkan, Israel juga bisa menjadikan Oman sebagai pintu menjalin komunikasi rahasia dengan Iran, Irak, atau Suriah yang dikenal sebagai poros Syiah di Oman. Kunjungan Netanyahu ke Oman merupakan prestasi besar Israel karena Oman bisa membuka akses Israel ke negara–negara yang selama ini sulit ditembus, seperti Iran, Irak, dan Suriah.