SEOUL, SELASA -- Mahkamah Agung Korea Selatan, Selasa (30/10/ 2018), memerintahkan perusahaan baja Jepang, Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp., untuk membayar kompensasi pada empat warga Korea Selatan yang dijadikan tenaga kerja paksa oleh perusahaan itu pada Perang Dunia II. Keputusan itu dikritik Jepang sebagai hal yang tak terpikirkan.
Dalam keputusannya, MA Korsel menguatkan putusan tahun 2013 yang memerintahkan Nippon Steel & Sumitomo Metal Corp. membayar 100 juta won (sekitar 88.000 dollar AS atau Rp 1,3 miliar) kepada masing-masing dari keempat warga Korsel itu. Keempatnya mengajukan tuntutan tahun 2005, menuntut pembayaran kompensasi dan upah yang belum dibayarkan.
Kantor berita Yonhap melaporkan, MA Korsel menegaskan, hak-hak mantan pekerja untuk mendapat pampasan tidak bisa diakhiri dengan kesepakatan tahun 1965 yang menjadi landasan normalisasi hubungan diplomatik Korsel-Jepang. Keputusan itu sekaligus sebagai penolakan atas sikap yang diambil pemerintah Jepang dan diputuskan pengadilan di Jepang.
Hubungan Korsel dan Jepang pernah memburuk karena perselisihan terkait sejarah masa lalu pada era penjajahan Jepang tahun 1910-1945 di Semenanjung Korea. Era itu ditandai, antara lain, dengan penerapan kerja paksa dan perbudakan seksual di masa perang. Keputusan MA Korsel, Selasa, menandai babak terakhir pertarungan hukum selama 21 tahun antara empat warga Korsel lawan Nippon Steel & Sumitomo Metal (NSSM).
MA Korsel menegaskan, hak-hak mantan pekerja untuk mendapat pampasan tidak bisa diakhiri dengan kesepakatan tahun 1965 yang menjadi landasan normalisasi hubungan diplomatik Korsel-Jepang.
Satu-satunya penggugat yang masih hidup, Lee Chun-sik yang sekarang berusia 90-an tahun, menghadiri sidang di kursi roda. "Saya sangat sedih karena saya satu-satunya (dari empat orang) yang masih hidup," kata Lee dengan berlinang air mata.
Dua warga Korsel pada awalnya membawa kasus ini ke pengadilan Jepang pada 1997 untuk meminta ganti rugi dan upah yang tidak dibayar atas kerja paksa mereka di pabrik baja milik perusahaan pendahulu, Nippon Steel. Nippon Steel dimerger dengan Sumitomo Metal Industries pada 2012.
Pengadilan Jepang menolak kasus itu dan menyatakan bahwa hak mereka untuk menuntut telah hangus oleh Kesepakatan tahun 1965 yang memulihkan hubungan diplomatik antara Seoul dan Tokyo, termasuk paket reparasi sekitar 800 juta dollar AS (Rp 12,2 triliun) dalam bentuk hibah dan pinjaman murah.
Namun, para korban kerja paksa tersebut bersama dengan dua orang lainnya, termasuk Lee Chun-sik, mengajukan tuntutan serupa masing-masing secara terpisah di Korsel pada 2005. Pada tahun 2012 MA Korsel di Seoul memutuskan bahwa perusahaan Jepang itu harus bertanggung jawab.
Ancam krisis diplomatik
Keputusan MA Korsel mengundang kemarahan dan respons langsung dari Tokyo. Di sidang parlemen, PM Jepang Shinzo Abe menyatakan, masalah tersebut telah diselesaikan dan dinyatakan selesai melalui kesepakatan tahun 1965. "Putusan ini tak mungkin (dilaksanakan) jika melihat hukum internasional," kata Abe.
Menlu Jepang Taro Kono memanggil Duta Besar Korsel di Tokyo Lee Su-hoon untuk memprotes putusan itu. Kono memperingatkan, Jepang akan membawa kasus itu ke pengadilan internasional "jika Korsel tak segera mengambil langkah tepat".
Sejumlah pejabat dan pakar di Korsel khawatir, putusan MA yang bersifat final dan mengikat itu bisa merusak hubungan bilateral Korsel-Jepang. Jika Nippon Steel menolak membayar kompensasi, penggugat bisa menuntut penyitaan properti perusahaan tersebut di Korsel, yang bisa berakibat penarikan keluar sejumlah perusahaan bisnis Jepang dari Korsel, pemotongan investasi, dan munculnya sentimen anti-Jepang.
"Kita mungkin harus siap menghadapi bukan hanya krisis diplomatik, tetapi penarikan keluar perusahaan-perusahaan Jepang dan merosotnya investasi baru," kata Shin Beom-chul, peneliti senior pada Asan Institute for Policy Studies, Seoul.